TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman menyarankan agar pasal tentang penghinaan presiden-wakil presiden yang diatur dalam RKUHP dialihkan menjadi ranah perdata. Dengan demikian, menurut dia, penyelesaian kasus yang berhubungan dengan penghinaan kepala negara tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif.
"Saya dari dulu paling benci pasal penghinaan presiden. Saya menyarankan agar dialihkan ke ranah perdata saja sehingga penyelesaiannya tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif," kata Habiburokhman dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 9 Juni 2021.
Dia menilai selama pasal penghinaan presiden-wapres masih dalam wilayah pidana maka tuduhan pasal tersebut digunakan untuk menyasar pihak yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus ada. Oleh sebab itu, ia menilai, seobjektif apapun proses peradilan bila kasusnya ditangani kepolisian dan kejaksaan maka akan muncul berbagai dugaan.
Tak hanya soal itu, politikus Gerindra ini juga menanyakan teknis carry over (RKUHP). Ia menyatakan bila RKUHP hanya tindak lanjuti dari periode lalu maka langsung dibahas ke tingkat dua. "Karena itu percuma Kemenkumham keliling Indonesia ke 11 kota meminta masukan terkait RKUHP," ujar dia.
Ia meminta Kemenkumham menjelaskan ihwal mekanisme carry over pembahasan RKUHP. Menurut dia, perlu diperjelas apakah mengikuti tahapan pembahasan seperti yang pernah dijalankan DPR periode 2014-2019 yang sudah disetujui di Tingkat I atau di Komisi III DPR.
"Lalu apakah ketika RKUHP diajukan maka masuk tahap kedua. Apakah ada masukan seperti itu dari para ahli atau masyarakat," kata Habiburokhman.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Tetap Ada di RKUHP, Wamenkumham: Itu Delik Aduan