INFO NASIONAL- Pemerintah tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang berisi soal rencana modernisasi dan investasi alutsista untuk jangka panjang. Digadang-gadang total anggaran mencapai Rp 1.760 triliun untuk jangka waktu 25 tahun.
Rencana ini menjadi polemik, pasalnya total anggaran tersbeut dinilai cukup fantastis. Namun,sebagian pengamat melihat bujet tersebut tergolong kecil mengingat kondisi alutsista Indonesia yang memprihatinkan, harganya yang mahal, dan kebutuhan jangka panjang.
Baca Juga:
Pengamat dan peneliti militer dari Binus University, Curie Maharani menilai anggaran Rp 1.760 triliun untuk modernisasi alutsista nasional ini masih normal."Angka ini cenderung konservatif," ujarnya saat dihubungi Senin, 31 Mei 2021.
Sebagai perbandingan, Curie menjelaskan anggaran modernisasi alutsista yang tertuang dalam strategi pembangunan Minimum Essential Force (MEF) III tahun 2020-2024 yang mencapai Rp 186.623,3 miliar atau sekitar Rp 2,7 triliun per tahun.
"Sedangkan Rerata anggaran modernisasi alutsista yang dialokasikan untuk 2020-2044 berkisar Rp 3 triliun per tahun. Ada selisih sedikit karena harus memperhitungkan defisit dan kenaikan harga alutsista," katanya.
Menurut Curie, isu utama yang bisa dalam rancangan Perpres tersebut adalah upaya Pemerintah memecahkan implementasi modernisasi yang tidak sesuai target (behind schedule). Salah satu penyebabnya adalah perubahan atau kaji ulang MEF yang mengalami penyesuaian beberapa kali. "Dengan melakukan pengadaan di depan, diharapkan pelaksanaannya lebih konsisten. Tapi apakah dimungkinkan secara regulasi? Itu perlu dijelaskan," katanya.
Senada dengan Curie, pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi juga mengatakan, nilai Rp1.760 triliun yang direncanakan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk belanja alutsista tergolong kecil."Kalau menghitung 25 tahun, ya, itu sebenarnya kecil," katanya.
Jika rancangan itu disetujui Presiden, kata Khairul, Pemerintah bisa mengejar target belanja pertahanan maksimal 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun, sebab anggaran tersebut akan ditambah dengan anggaran pertahanan rutin sebesar rata-rata 0,78 persen dari PDB per tahun.
Adapun bila dibandingkan dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun yang besarnya mencapai lebih dari Rp 375.000 triliun, maka angka Rp 1.760 triliun itu sangat kecil, yakni sebesar 0,5 persen dari PDB.
Meski tergolong kecil untuk kebutuhan 25 tahun ke depan, Khairul mendorong Pemerintah perlu cermat mencari pendanaan. Rencananya hal itu akan dipenuhi melalui skema pinjaman luar negeri."Bagaimana dari skema pinjaman suku bunga serendah mungkin dan tenornya sepanjang mungkin. “Artinya, di bawah 2 persen dan tenor panjang, 12-30 tahun," katanya.
Permasalahan utama yakni perlambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019. Padahal Indonesia memiliki Minimum Essential Force (MEF) sejak 2007."Ada beberapa rencana pembelian yang mangkrak sampai hari ini. Misalnya wacana pembelian Sukhoi Su-35. Itu, kan, sudah lama, tapi sampai hari ini nggak jelas, jadi beli atau tidak. Misalnya, penambahan kapal selam baru, apakah kita melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kerja sama dengan negara-negara lain?," ujarnya.
Target yang ingin dicapai pada akhir Renstra II pada 2019 tidak tercapai. Dampaknya terjadi kesenjangan pengadaan alutsista TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. TNI AD mendekati hampir 80%, sementara TNI AU belum sampai 50 %. Kesenjangan pencapaian antar matra ini dibenahi melalui rancangan perpres ini yang menyiapkan kebutuhan, roadmap, dan business plan.
Khairul menghimbau agar Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, untuk menguatkan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). "Itu amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012. KKIP ini wadah untuk merumuskan kebijakan, merencanakan kebutuhan. Itu ada diatur dalam undang-undang," katanya.(*)