TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dan puluhan tokoh antikorupsi di Yogyakarta mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan.
"Membiarkan kejahatan itu sama artinya dengan melakukan kejahatan," kata Busyro dalam acara deklarasi Jogja kompak untuk antikorupsi di Kantor Dewan Perwakilan Daerah, Senin, 31 Mei 2021.
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah ini mengatakan KPK sudah lumpuh secara kelembagaan di tangan presiden dan DPR melalui Revisi Undang-Undang KPK.
Ia mengatakan Presiden sudah memaksakan pengesahan rancangan UU KPK dan mengabaikan aspirasi rakyat. Selanjutnya, kata dia, serangan terhadap KPK berlangsung secara brutal dan kasar. Satu di antaranya melalui TWK. Dia menilai materi TWK melecehkan hakikat kebangsaan yang tercantum dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Busyro mendesak presiden segera bertindak dan mendengarkan aspirasi publik ihwal pembatalan hasil TWK. Dia bercerita kerap berdiskusi dengan orang-orang di KPK bahwa lembaga antirasuah ini terus mengalami pelemahan oleh pemerintah dan DPR karena menghalangi koruptor dan oligarki politik. Pegawai andalan KPK yang berintegritas kemudian tersingkir.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar
menyoroti Presiden Jokowi yang tidak tegas dalam menyampaikan pernyataannya sebagai pembina aparatur sipil. Padahal, Jokowi punya kewenangan besar ihwal ASN ini.
Menurut Zainal tidak ada dasar hukum yang jelas ihwal pemberhentian 51 pegawai KPK tersebut. Secara hierarki, komisioner KPK tidak berwenang memberhentikan pegawai KPK. Sesuai konsep Aparatur Sipil Negara, presiden, dalam hal ini Jokowi, merupakan pejabat pembina tertinggi. "Pemimpin tertinggi adalah sekjen KPK yang diberi kuasa presiden, bukan komisioner," katanya soal kejanggalan tes wawasan kebangsaan atau TWK.
Baca juga: Giri Suprapdiono, Pegawai KPK Pengajar Wawasan Kebangsaan yang Tak Lolos TWK