TEMPO.CO, Medan - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) mendampingi warga
Desa Natumingka mendatangi Polda Sumatera Utara untuk melaporkan tiga sekuriti PT Toba Pulp Lestari yang diduga melakukan tindak pidana penganiayaan kepada warga saat bentrok pada 18 Mei 2021.
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Perhimpunan Bakumsu Roy Marsen Simarmata mengatakan, pelapor atasnama Johansen Simanjuntak. Ketiga terlapor adalah Agus Duse Damanik, Riko Tampubolon dan Roy Nababan. Laporan sudah diterima dengan Nomor: LP/B/894/V/2021/SPKT/Polda Sumut.
"Terlapor Agus Duse Damanik merupakan kepala keamanan TPL. Berdasarkan hasil rekaman video, terjadinya konflik karena komandonya. Dia yang memerintahkan teman-temannya melakukan penyerangan. Dari video, kita bisa mendengar Agus mengucapkan, 'sekuriti siap maju' Nah, di situlah terjadi bentrok," kata Roy saat memberikan keterangan pers di kantor Bakumsu, Kamis sore 27 Mei 2021.
Berdasarkan kronologis dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roy bilang, kerusuhan terjadi saat PT TPL datang membawa petugas keamanan dan Pekerja Harian Lepas (PHL) sekitar 500-an orang. Mereka diangkut 28 truk, membawa bibit eucalyptus siap tanam. Warga menghalangi, tak lama, polisi dan pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige datang membujuk agar perusahaan dibiarkan melakukan penanaman. Namun warga menolak dan kericuhan dimulai.
"Korban atas nama Jusman Simanjuntak mengalami luka di pelipis kiri, sampai sekarang masih dirawat. Dia juga mengalami trauma, makanya yang membuat laporan tadi anak kandungnya," kata Roy.
Biro Advokasi AMAN Tano Batak Agustin Simamora menambahkan, tindak kriminalisasi terhadap masyarakat adat Natumingka mengakibatkan puluhan warga terluka. Sewaktu kejadian, petugas keamanan PT TPL memberi aba-aba kepada seluruh PHL yang masing-masing sudah memegang kayu dan batu untuk menerobos blokade warga. Mereka melempari masyarakat dengan batu dan kayu. Lima warga mengalami luka serius sehingga dibawa ke Puskesmas Borbor.
Menurut Agus, kriminalisasi kepada masyarakat adat terus terjadi dan terulang di Sumatera Utara. Masyarakat adat hanya memperjuangkan tanah leluhurnya untuk bisa diusahai dan diturunkan dari generasi ke generasi, namun pemerintah dan pengusaha tidak menerimanya. Ironisnya lagi, aparat keamanan yang menjadi garda terdepan melindungi masyarakat malah terkesan membiarkan kriminalisasi terjadi.
"Perjuangan yang dilakukan masyarakat Natumingka bukan tindakan kriminal, mereka berangkat dari konstitusi negara yang menjamin kehidupan semua warganya tanpa terkecuali. Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor35 tahun 2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara," katanya.
Direktur PT TPL Jandres Silalahi dalam keterangan tertulisnya mengatakan, aksi yang tidak diharapkan dilakukan sekelompok masyarakat di tengah proses dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta stakeholders lainnya.
“Kami menyesalkan terjadinya tindakan yang tidak diharapkan yang menyebabkan dua korban luka. Aksi sekelompok masyarakat itu terjadi di tengah proses dialog untuk menyelesaikan isu-isu yang ada,” kata Jandres.
Dia bilang, lokasi penanaman merupakan konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman keenam, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992 Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Pasca kejadian, PT TPL akan terus mendorong dialog dan solusi yang damai dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan soal sengketa tanah dan tidak mengedepankan aksi-aksi yang dapat merugikan kedua-belah pihak. Perusahaan juga terus menjalankan program-program sosial melalui kolaborasi dengan masyarakat sekitar melalui kemitraan kehutanan meliputi tumpangsari tanaman pangan di area tanaman produksi serta pola tanaman kehidupan.
Puan Makassar
Baca: Masyarakat Adat Natumingka Minta Bupati Toba Bantu Kembalikan Tanah Adat