TEMPO.CO, Jakarta - Serikat buruh, organisasi pelajar-pemuda-mahasiswa, petani, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruh bersama Rakyat (Gebrak) akan menggelar aksi turun ke jalan memperingati Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2021, serentak di 27 provinsi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Pada peringatan Hari Buruh Internasional ini, Gebrak menuntut pemerintah mencabut UU Cipta Kerja dan 11 kebijakan/peraturan lainnya yang dinilai merugikan buruh. Semua peraturan itu terbit sepanjang satu tahun pandemi Covid-19.
"Gebrak mendesak agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, serta sederet peraturan dan kebijakan bermasalah lainnya," ujar
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos lewat keterangan tertulis, Jumat, 30 April 2021.
Beberapa kebijakan yang dinilai merugikan itu antara lain aturan soal pemotongan upah dengan dalih pandemi yang dilegitimasi lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19.
Dalam aturan itu, kata Nining, tidak ada batasan maksimal pemotongan upah dan tidak ada tolak ukur yang jelas serta ketat mengenai syarat ketidakmampuan keuangan perusahaan sehingga sangat merugikan kelas buruh.
Kewajiban pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) juga dilemahkan melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang membolehkan adanya pembayaran THR secara dicicil pada tahun lalu. Menjelang Idul Fitri 2021, Kementerian Ketenagakerjaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/IV/2021 yang masih bermasalah karena tidak memberikan tolak ukur ketidakmampuan keuangan perusahaan.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga mengintervensi kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 yang meniadakan kenaikan upah minimum dengan dalih pandemi. Meski begitu, lima provinsi mengabaikan surat edaran itu dan tetap menaikan upah minimum provinsinya yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Pemerintah dan DPR juga dianggap bertanggung jawab atas terjadinya gelombang PHK massal selama pandemi karena omnibus law UU Cipta Kerja telah mempermudah terjadinya pemecatan dan menggerus hak dasar buruh.
"Setidaknya telah terbit empat peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan kelas buruh yaitu terkait penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan periode Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan," ujar Nining.
Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah menilai serentetan aturan bermasalah ini tidak dapat dilepas dari kegagalan skema pembangunan nasional yang bergantung pada investasi.
"Ketika terjadi guncangan pada sistem kapitalisme global seperti hari ini maka rakyat yang dijadikan tumbal dengan dalih penyelamatan ekonomi nasional. Rakyat pun kehilangan kedaulatan atas akses sumber ekonomi yang selama ini sebenarnya menopang perekonomian negara lewat konsumsi rumah tangganya," ujarnya.
Gebrak menuntut pemerintah memberikan hak dasar buruh, memberikan jaminan perlindungan atas hak bekerja serta penghapusan sistem outsourcing. Pemerintah juga didesak agar menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang anti UU Cipta Kerja. "Di Banten, kriminalisasi dialami oleh belasan mahasiswa massa aksi penolak UU Cipta Kerja. Hingga hari ini, sembilan mahasiswa masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten," ujar Ilhamsyah.
Baca juga: Hari Buruh, KSPI Sebut 50 Ribu Buruh akan Turun Aksi May Day