TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan kajiannya terkait Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Berdasarkan kajian mendalam yang kami lakukan, masih terdapat berbagai kekurangan fundamental dan memerlukan penyempurnaan secara menyeluruh,” kata Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno dalam hasil kajiannya, Jumat, 23 April 2021.
Dalam kajiannya, Kasiyarno menemukan permasalahan berupa Pancasila yang belum secara eksplisit dicantumkan dalam PP Nomor 57 Tahun 2021. “Padahal dalam Peta Jalan Kemendikbud selalu dicantumkan Profil Pelajar Pancasila,” katanya.
Kasiyarno mengusulkan agar mata pelajaran atau kuliah Pancasila dicantumkan dalam kurikulum. Usulan berikutnya memasukkan Pancasila dalam kurikulum pendidikan, dengan mengubah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
“Bahkan jika perlu, Pancasila menjadi mata pelajaran tersendiri sebagai bentuk penanaman nilai ideologi dan karakter bangsa Indonesia,” kata dia.
Pada PP 57, Kasiyarno juga menemukan masalah berupa bahasa Indonesia yang tidak disebut. Ia pun mengusulkan agar dicantumkan dalam kurikulum. Sebab, sesuai Pasal 33 UU Nomor 20 Tahun 2003, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional dan bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
Mengenai bahasa asing, kata Kasiyarno, juga tidak disebut dalam PP tersebut. Ia lantas menyarankan agar PP 57 mencantumkan bahasa Inggris atau asing sebagai alat komunikasi internasional dan pengembangan Iptek.
Kasiyarno juga meminta agar PP 57 mencantumkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Masalah berikutnya pada PP 57 adalah tidak membedakan antara tenaga pendidik dengan tenaga kependidikan. Padahal, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, kedua profesi tersebut merupakan entitas yang memiliki tugas dan fungsi berbeda.
Kasiyarno mengusulkan revisi standar pendidik dan tenaga kependidikan. Kemudian konsep tenaga kependidikan di dalam PP 57 juga harus diubah dan disesuaikan dengan UU Sisdiknas. “Membedakan secara detail tenaga pendidik dan tenaga kependidikan,” ujarnya.
Dalam PP 57, Kasiyarno juga menyoroti hilangnya keberadaan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang berwenang sebagai pengembang standar nasional pendidikan. Sehingga, ia mengusulkan keberadaan dan peran BSNP diintensifkan, karena diperlukan badan independen yang bertugas mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi Standar Nasional Pendidikan.
Keberadaan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan juga tidak tercantum dalam PP 57. “Keberadaan LPMP atau lembaga lain untuk penjaminan mutu sangat diperlukan karena pendidikan dasar dan menengah sudah didesentralisasikan. Lembaga ini yang akan memotret peta mutu di setiap wilayah,” kata Kasiyarno.
Masalah berikutnya adalah Dalam Standar Pengelolaan PP 57 Tahun 2021 tidak mencantumkan School Based Management yang tercantum dalam RPJP, RPJM dan PP mengenai Pengelolaan Pendidikan, yang mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Kasiyarno pun menyarankan PP 57 direvisi dengan mencantumkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Majelis Dikdasmen Muhammadiyah juga menilai PP 57 tidak menjelaskan pendidikan informal. Kasiyarno mengatakan, regulasi pendidikan informal, seperti homeschooling sedang berkembang pesat di masyarakat. Padahal, pendidikan informal tercantum dalam UU Sisdiknas. “Maka ketentuan pendidikan informal perlu dijelaskan dalam PP 57,” katanya.
Terakhir, Kasiyarno menilai keberadaan pengawas tidak muncul dalam PP 57. Ia memandang, hal tersebut dapat membuat rancu tugas dan fungsi pengawas atau penilik yang melakukan supervisi klinis ke satuan pendidikan. Ia pun mengajukan usulan revisi agar pengawas tetap diperlukan untuk supervisi klinis yang tidak bisa dialihkan kepada guru maupun kepala satuan pendidikan.
FRISKI RIANA