TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim menilai klarifikasi dan permintaan maaf Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ke PBNU harus dilanjutkan dengan evaluasi total dokumen sejarah yang telah diterbitkan negara.
Selain itu, menurut Luqman, dalam meluruskan sejarah, Nadiem harus menggandeng pihak berkompeten, termasuk PBNU. "Kalau itu tidak dilakukan, kehadiran Nadiem Makarim ke PBNU sekadar upaya mencari suaka politik agar tidak dicopot oleh Presiden Jokowi," katanya, Kamis, 22 April 2021.
Pernyataan Luqman Hakim tersebut berkaitan dengan tidak ada nama K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Kamus Sejarah Indonesia yang disusun Kemendikbud. Nadiem pun langsung bertemu dengan pimpinan PBNU di Jakarta, Kamis siang.
Luqman menilai tidak dicantumkannya nama kedua tokoh NU itu dalam Kamus Sejarah Indonesia yang disusun Kemendikbud bukan kelalaian atau kekhilafan. Luqman menduga Kemendikbud telah disusupi kekuatan kontra NKRI yang ingin memecah belah bangsa Indonesia dengan mendiskriminasikan kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat melalui penulisan sejarah, dalam hal ini kelompok NU.
Oleh karena itu, dia meminta Presiden Jokowi mengevaluasi menyeluruh terhadap Kemendikbud sehingga dapat membersihkan kementerian ini dari kekuatan yang ingin memecah belah bangsa. "Harus ditemukan pihak-pihak yang secara sengaja dan sistematis melakukan manipulasi dengan menghilangkan peran ulama dan organisasi Islam dalam sejarah bangsa. Tidak peduli siapa pun yang melakukan dan kapan dilakukannya," ujarnya.
Di satu sisi Luqman menghargai silaturahim Mendikbud ke PBNU sekaligus memberikan klarifikasi dan minta maaf mengenai masalah Kamus Sejarah Indonesia yang menjadi kontroversi karena tidak mencantumkan Hasyim Asy'ari dan Abdurrahman Wahid dalam sejarah pendirian dan pembentukan karakter bangsa Indonesia.
Namun Luqman menilai klarifikasi permintaan maaf yang dilakukan Mendikbud kepada PBNU belum cukup melegakan karena keluarga besar NU selama ini sering menjadi korban dari penyusunan sejarah yang manipulatif. Ia mencontohkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945 yang berisi fatwa bahwa hukumnya wajib bagi setiap orang Islam berjuang mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah yang kembali datang.
"Namun, selama ini disembunyikan dari dokumen sejarah. Padahal, itu adalah awal mula adanya pertempuran Surabaya yang melahirkan Hari Pahlawan 10 November," kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa tersebut.
Baca Juga: Kamus Sejarah Diprotes NU, Nadiem Silaturahmi dengan Said Aqil dan Yenny Wahid