TEMPO.CO, Jakarta - Tenaga Ahli Menteri Kesehatan, Andani Eka Putra, mengatakan konsep vaksin berbasis sel dendritik seperti vaksin Nusantara lebih ribet ketimbang vaksin lain pada umumnya. "Saya katakan agak ribet, berbeda dengan vaksin lain," kata Andani dalam diskusi Polemik Trijaya, Sabtu, 17 April 2021.
Andani mengatakan, konsep vaksin pada umumnya adalah membentuk sel memori atau pengingat. Protein virus yang diberikan pada vaksin akan membentuk sel memori pada tubuh. Sehingga, jika orang yang sudah divaksin terserang virus, sel pengingat dalam tubuhnya tahu bahwa itu Covid-19. "Sehingga respons imun lebih cepat. Itu konsep vaksin," ujarnya.
Menurut Andani, setiap antigen yang masuk, ada kecenderungan sel imun tubuh tidak langsung mengenali. Terutama pada target utamanya, yaitu sel T dan sel B. Untuk membantu sel T dan B mengenali antigen, maka sel dendritik lah yang bertugas mempresentasikan agar dapat membentuk sel memori.
Konsep vaksin pada umumnya, kata Andani, hanya dengan mematikan virus atau protein rekombinan yang dimatikan, lalu diinjeksikan pada tubuh manusia.
Pada vaksin berbasis sel dendiritik, Andani menyebutkan darah manusia diambil dan dipisahkan dulu dendritiknya baru ditambahkan dengan protein targetnya (protein pada Sars-CoV-2) secara in Vitro di laboratorium. Kemudian, sel dendiritik itu dimasukkan lagi ke tubuh manusia, sehingga langsung dipresentasikan kepada sel T untuk membentuk memori.
Yang menjadi dilema, menurut mantan Direktur RS Unand ini, harus ada standar good manufacturing practice (GMP) di mana prosesnya rutin dan tiap orang yang diambil sampel darahnya diproses sendiri. Sehingga, standar dan mutu harus dijaga dengan sangat ketat.
Intinya, kata Andani, target vaksin sel dendiritik adalah supaya lebih meyakinkan protein target ditangkap sel yang mempresentasikan ke sel T dan B. "Tapi rumitnya perlu processing tiap sampel. Makanya uji klinis tahap 2 kemarin ambil sampel dulu, processing dulu dendritiknya baru diinjeksikan. Ini konsep vaksin Nusantara," ujarnya.