TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia telah menyatakan terdapat indikasi perampasan tanah masyarakat, dalam pengerjaan proyek Mandalika, Nusa Tenggara Barat. United Nations Special Rapporteur atau Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrem dan Hak Asasi Manusia, Olivier De Schutter, mengatakan para petani dan nelayan tergusur dari tanah yang mereka tinggali.
Hal ini sejalan dengan temuan Tempo dalam Laporan Majalah Tempo edisi 3 Oktober 2020 lalu. Dalam laporan itu, Tempo melaporkan pembangunan Sirkuit Mandalika yang dibangun oleh PT Pembangunan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), menyisakan banyak sengketa lahan dan intimidasi terhadap warga sekitar.
Pada 30 September 2020, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah di Mataram. Beka datang ke sana setelah banyaknya laporan warga terkait lahan yang masih bermasalah.
"Kami meminta pengembang proyek Sirkuit Mandalika menghentikan sementara aktivitasnya di atas lahan yang masih bermasalah karena belum dibayar," kata Beka pada Majalah Tempo, 2 Oktober 2020 lalu.
Dari laporan Tempo itu, disebutkan banyak aduan dari warga sekitar proyek terkait salah bayar ganti rugi. Ada pula yang merasa belum dibayar tapi tanah miliknya sudah rata dengan tanah. Bahkan beberapa di antaranya sudah memenangi gugatan di pengadilan tingkat banding. "Sampai saat ini ada 16 bidang lahan yang diadukan ke Komnas HAM," kata Beka saat itu.
Meski begitu, Corporate Secretary ITDC, Miranti Nasti Rendranti, mempersilakan pihak-pihak yang merasa memiliki bukti klaim lahan agar memprosesnya di pengadilan.
"Klaim-klaim yang dimaksud harus diselesaikan atau dibuktikan dalam proses persidangan di pengadilan," kata Miranti.
Baca laporan lengkap soal Mandalika dalam artikel Majalah Tempo berjudul 'Sebelum Rossi ke Mandalika'.