TEMPO.CO, Jakarta - Ketua DPP Partai Amanat Nasional Saleh Partaonan Daulay menjelaskan alasan ketua umumnya, Zulkifli Hasan menyinggung ihwal calon presiden dan calon wakil presiden yang kemudian menjadi menteri di kabinet presiden terpilih. Dia mengatakan Zulkifli selama ini rutin berdiskusi dengan para tokoh di internal PAN.
Dari diskusi itu, kata Saleh, Zulkifli menilai Indonesia kini mengarah ke politik yang sangat liberal sehingga meninggalkan musyawarah mufakat. "Yang muncul menang-menangan, siapa suara terbanyak bisa menghabiskan suara yang sedikit, partai yang besar seakan-akan ingin menang sendiri," kata Saleh kepada Tempo, Jumat, 26 Maret 2021.
Saleh mengatakan hal tersebut tak sesuai dengan potret nasionalisme yang baik menurut sila keempat Pancasila yang berbunyi 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan'.
Di sisi lain, dia mengatakan Indonesia saat ini tengah bertarung menghadapi dua hegemoni besar, yakni kapitalisme dan liberalisme Amerika Serikat dan sosialisme Cina. Dua kekuatan besar disebutnya berimplikasi luas dan seakan-akan menghimpit Indonesia.
"Dari konteks itulah muncul analisis tadi, misalnya demokrasi kok jadi rapuh, tidak ada lagi oposisi. Jangankan yang oposisi, yang ikut bertanding di pemilu lalu sekarang malah ikut masuk di jajaran pemerintah," kata dia.
Menurut Saleh, hal ini membuat mekanisme pengawasan terhadap pemerintah atau check and balances menjadi lemah. Dia pun menyinggung masalah pembelahan di masyarakat yang belum selesai dirajut kembali, tetapi para elite malah bersatu.
Baca: Zulkifli Hasan Singgung Demokrasi Culas: Capres-Cawapres Penantang Jadi Menteri
"Ada beberapa kelompok masyarakat menunjukkan kekecewaan terhadap realitas politik yang ada," ucapnya.
Zulkifli Hasan sebelumnya menyinggung ihwal demokrasi culas dan calon presiden atau capres - wakil presiden Pemilu 2019 yang kemudian bergabung menjadi menteri di kabinet presiden terpilih. Hal itu disampaikan Zulkifli dalam pidato yang diunggah di Instagram TV pribadinya.
Menurut Zulkifli, politik elektoral telah berubah sedemikian rupa menjadi ajang memperebutkan kekuasaan, berebut lobi, dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda. Padahal, kata dia, pesta demokrasi memerlukan ongkos yang mahal, bahkan hingga mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak penyelenggara.
Namun menurut Zulkifli, pesta demokrasi atau pemilu yang mahal itu menghasilkan pola-pola transaksional, merugikan, dan membodohi masyarakat. Dia juga menilai para elite tak peduli dengan masyarakat yang terpolarisasi secara hebat. Wakil Ketua MPR ini menyebut tensi politik tak dikelola dengan baik. "Tidak ada berkuasa dan tidak berkuasa, semua menjadi satu. Sementara konsekuensi terbelahnya masyarakat menjadi kubu-kubu telanjur terjadi," kata Zulkifli.
BUDIARTI UTAMI PUTRI