TEMPO.CO, Jakarta - Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan masa jabatan presiden tiga periode bisa merusak regenerasi kepemimpinan.
"Masa jabatan yang terlalu lama berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," kata Bivitri dalam diskusi, "Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?", Rabu, 24 Maret 2021.
Untuk itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini meminta masyarakat untuk kritis terhadap persoalan ini. Ia meminta masyarakat tak hanya melihat Presiden sebagai Joko Widodo seorang.
Ia mengatakan dalam menjalankan tampuk pemerintahan, presiden akan selalu berjalan dengan orang-orang sekelilingnya baik dari sektor formal maupun nonformal. "Jadi ada oligarki yang menginginkan supaya terus menerus kekuasaannya dipelihara," kata Bivitri.
Menurut dia, saat ini, masyarakat dan pemerintah seharusnya bersama memperkuat pondasi konstitusi dan demokrasi. Apalagi, indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran sehingga harus jadi pengingat mengenai keadaan demokrasi di Tanah Air.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia memperoleh skor indeks demokrasi sebesar 6,30 persen atau peringkat 64 dari 167 negara.
Bivitri meminta masyarakat benar-benar mengawasi isu masa jabatan presiden 3 periode ini. Sebab, ia melihat isu ini sengaja dimunculkan oleh elite politik. "Jadi harus kita perhatikan betul siapa yang membawa-bawa ini sebenarnya," katanya.
Sebelumnya, Amien Rais menyebut rezim pemerintahan akan mengambil langkah meminta sidang istimewa MPR untuk menyetujui amandemen satu atau dua pasal dalam Undang-undang Dasar 1945. Namun, menurut Amien, perubahan itu akan mencakup perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Soal Masa Jabatan Presiden 3 Periode, PPP: Itu Political Joke Pak Amien Rais