TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menginisiasi pembentukan posko pemantauan bersama Virtual Police. Melalui posko ini, KontraS akan menghimpun data yang selanjutnya akan digunakan menjadi ukuran, konten, atau unggahan apa saja yang mendapat teguran dari Virtual Police.
"Pos pemantauan ini berupa form yang dapat diisi oleh publik yang mendapat peringatan oleh Virtual Police di dunia maya. Pos pemantauan ini dapat diakses melalui tautan berikut: Bit.ly/dmninuninu," ujar Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti lewat keterangan tertulis, Selasa, 23 Maret 2021.
Fatia menjelaskan, posko ini dibentuk menanggapi situasi kebebasan sipil dengan dibentuknya Virtual Police melalui Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Dalam Surat Edaran tersebut dinyatakan bahwa Virtual Police bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber. Virtual Police juga dibuat dalam rangka merespon maraknya penggunaan delik-delik dalam UU ITE.
Akan tetapi, kata Fatia, pembentukan virtual police ini berseberangan dengan ucapan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang UU ITE untuk direvisi karena tidak dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.
Pasalnya, lanjut dia, sejak pertama beroperasi pada 24 Februari 2021, Virtual Police telah mengirimkan peringatan kepada beberapa akun pribadi lewat Direct Message pada platform Twitter, Facebook, Instagram, Youtube dan WhatsApp. Tercatat, per tanggal 18 Maret 2021 sudah sebanyak 148 akun media sosial yang berhasil terjaring operasi pemantauan yang dilakukan.
Baca: LP3ES: Virtual Police Menciptakan Persepsi Ancaman
"Aktivitas pemantauan melalui Virtual Police di dunia digital tersebut berimplikasi pada menyusutnya kebebasan di ruang-ruang sipil. Penindakan yang dilakukan oleh Virtual Police dalam beberapa waktu ini tidak mempunyai parameter yang terukur," ujar Fatia.
Hal problematis lain dalam aktivitas Virtual Police juga muncul dari segi regulasi. Surat Edaran SE/2/11/2021 hanya meregulasi pembentukannya saja, namun dalam kaitannya dengan prosedural penindakan oleh Virtual Police dari mulai pemantauan hingga peringatan tidak berdasar alas hukum yang jelas.
"Muatan peringatan yang disampaikan Virtual Police juga seperti layaknya putusan pengadilan. Individu yang ditegur, dianggap telah memenuhi unsur-unsur pasal dan berpotensi melanggar UU ITE," ujarnya.
Padahal, lanjut Fatia, upaya verifikasinya pun hanya dilakukan dengan ahli yang ditunjuk oleh pihak Kepolisian. Sedangkan, alat uji terpenuhinya suatu unsur delik tidak dapat hanya didasarkan pada proses demikian yang sifatnya sangat subjektif dan tanpa adanya pembuktian. Kekosongan pengaturan ini dinilai berimplikasi pada tindakan subjektif, sewenang-wenang, hingga abuse of power dalam penindakannya.
Di sisi lain, kondisi kebebasan sipil semakin menyusut. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3 yang merupakan angka terendah diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Keberadaan Virtual Police dinilai menjadi kontradiktif ketika publik memiliki kekhawatiran dalam berekspresi, baik melalui aksi massa maupun di internet.
DEWI NURITA