Pengurus Komisi Fatwa dan tim khusus menggelar rapat di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 10 Maret. Tim khusus bertugas membuat draf fatwa untuk dibawa ke sidang pleno Komisi Fatwa MUI. Mereka yang datang di antaranya Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh dan Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin.
Menurut Ahmad, rapat itu dihadiri pengurus yang berpandangan bahwa vaksin AstraZeneca haram. “Jadi saya tidak hadir di sana,” ujarnya.
Anggota Komisi Fatwa MUI, Aminuddin Yakub, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan rapat tersebut menghasilkan draf fatwa yang menyebutkan vaksin AstraZeneca haram. Meski haram, Aminuddin mengatakan, vaksin tersebut masih bisa digunakan lantaran keterbatasan vaksin Covid-19 dan situasi darurat.
Sepekan setelahnya atau pada Selasa, 16 Maret, Komisi Fatwa MUI menggelar sidang pleno untuk mengesahkan fatwa. Hasilnya kurang-lebih sama dengan draf yang telah disusun sebelumnya. Tapi fatwa MUI baru resmi diumumkan pada Jumat, 19 Maret, bersamaan dengan izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin Abdul Fatah menyebut Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI menyebutkan vaksin itu mengandung tripsin, enzim babi yang digunakan sebagai katalis, untuk pengembangbiakan virus corona. Menurut Hasanuddin, informasi soal unsur tripsin diketahui dari data yang ditunjukkan oleh BPOM.
MUI, kata dia, memiliki pedoman yang menyatakan unsur babi yang digunakan di bagian hulu menjadikan satu produk tetap haram meskipun barang itu tak lagi mengandung babi.
Anggota Komisi Fatwa, Aminuddin Yakub, mengatakan vaksin AstraZeneca berbeda dengan Sinovac. Kandungan Sinovac salah satunya adalah sel vero, yang berasal dari ginjal monyet hijau Afrika. Sifatnya tidak najis berat seperti vaksin AstraZeneca. “Dasar kami adalah semua produk yang mengandung babi itu haram,” ucap Aminuddin.
Direktur AstraZeneca Indonesia Rizman Abudaeri melalui siaran pers, menyatakan AstraZeneca menghargai pernyataan Majelis Ulama. Namun, perusahaan itu menyatakan vaksinnya tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau hewan lain.
Vaksin tersebut telah disetujui di lebih dari 70 negara, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Mesir. "Banyak Dewan Islam di seluruh dunia menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para muslim."