TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini publik dibuat bingung dengan perbedaan label halal atau haram vaksin AstraZeneca. Pemerintah meminta masyarakat tidak menjadikan polemik perbedaan tersebut. Sebab vaksin Covid-19 itu diperbolehkan dipakai terlepas label haram atau halal.
"Saya kira yang sekarang dipersoalkan seharusnya pada boleh atau tidak boleh, bukan pada halal atau tidak. Karena (vaksin AstraZeneca) walaupun tidak halal, tapi sudah boleh. Apalagi kalau ada penjelasan memang itu tidak mengandung unsur babi, artinya bolehnya menjadi lebih boleh. Sehingga tidak menjadi persoalan, tentang kebolehannya," kata Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Senin, 22 Maret 2021
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa vaksin AstraZeneca haram, tapi boleh digunakan dalam keadaan darurat. Sementara PWNU Jawa Timur dan MUI Jawa Timur menyatakan vaksin AstraZeneca halal. Pihak AstraZeneca Indonesia mengklaim vaksin Covid-19 mereka tidak mengandung babi. Bagaimana bisa ada perbedaan tersebut?
Sebelum mengeluarkan fatwa untuk vaksin AstraZeneca, pendapat anggota dan pimpinan Komisi Fatwa MUI sebetulnya terbelah. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa, Ahmad Fahrur Rozi, mengatakan sebagian pengurus menganggap vaksin tersebut haram. Namun Ahmad dan pengurus lain menganggap vaksin itu halal karena produk akhirnya tak mengandung babi.
Pun proses pengembangbiakan virus itu tidak bersinggungan langsung dengan tripsin babi. “Ini seperti lele makan kotoran. Lelenya tetap halal, kan?” katanya seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 22 Maret 2021.
Menurut Ahmad, sejumlah ulama internasional juga telah menghalalkan penggunaan tripsin atau gelatin - jenis protein yang diperoleh dari kolagen dalam kulit dan tulang - babi. Ia mencontohkan pada 2001, ada 112 ulama bertemu dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan menyetujui fatwa halal gelatin babi pada vaksin.
Di sejumlah negara Islam pun persoalan halal-haram vaksin tak diributkan dalam kondisi normal, apalagi saat pandemi. “Cuma di sini saja ribut-ribut soal itu,” ucapnya.