TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengeluarkan rekomendasi pencabutan limbah batubara dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3)
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati menilai, KPK seolah kebingungan karena mengganggap upaya pencegahan korupsi dengan pencegahan pencemaran lingkungan hidup dan pencegahan risiko kesehatan masyarakat sebagai hal yang terpisah.
"Seolah-olah yang satu tidak bisa dilakukan jika yang lain dilakukan. Padahal keduanya saling beririsan dan tidak terpisahkan. Ini menunjukkan kesesatan logika KPK dalam meninjau permasalahan limbah B3 ini," ucap Nur saat dihubungi pada Jumat, 18 Maret 2021.
Menurut Nur, jika KPK mengeluarkan rekomendasi atas kajian GNPSDA yang menunjukkan bahwa sektor batubara adalah salah satu sektor terkorup, dan bahwa dalam hal korupsi di Indonesia sudah terjadi state capture corruption, maka seharusnya rekomendasi KPK kepada pemerintah adalah menghentikan proyek-proyek baru industri batubara.
"Mulai dari hulu sampai hilir, dari tambang hingga PLTU, dan meminta pemerintah segera melakukan aksi-aksi korektif utk memperbaiki tata kelola industri batubara," ujar Nur.
Nur mengkhawatirkan, dengan pemikiran KPK seperti itu, bukan tidak mungkin, ke depan KPK merekomendasikan penghapusan seluruh perizinan di Indonesia. Sebab, tentu saja setiap proses perizinan tersebut juga berpotensi terjadi korupsi.
Sebagaimana diketahui, KPK merekomendasikan agar limbah batu bara dicabut dari kategori B3. KPK menyebutkan berdasarkan studi literatur, negara seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Australia, Cina dan negara Eropa lainnya, FABA sudah dimasukkan dalam kategori non limbah B3.
Atas dasar telaah literatur itulah, KPK merekomendasikan agar limbah batubara dicabut dari daftar limbah B3. KPK beralasan dengan pencabutan itu potensi korupsi dari sektor perizinan dapat dihindari, biaya produk pembangkitan listrik PT PLN menurun dan potensi manfaat FABA untuk sektor industri lain dengan estimasi nilai Rp 300 triliun dapat direalisasikan.
ANDITA RAHMA | M. ROSSENO AJI