TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademisi dan pemerhati gerakan perempuan mengkritik Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang memfasilitasi forum group discussion (FGD) bertema, "Pemberdayaan Perempuan dalam Mendukung Tugas Suami".
Tema diskusi ini dinilai mengusung cara pandang usang yang mendomestifikasi perempuan atau menempatkan perempuan untuk hanya menopang tugas suami.
"Kami menolak segala bentuk domestifikasi perempuan dan mengecam forum-forum tentang domestifikasi perempuan sebagaimana dilakukan dalam FGD "Pemberdayaan Perempuan dalam Mendukung Tugas Suami"," kata Dian Noeswantari dari Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Maret 2021.
FGD tersebut diselenggarakan oleh Dharma Wanita Persatuan Unnes pada Kamis, 4 Maret 2021. Ketua DWP Unnes, Barokah Isdaryanti yang juga merupakan istri Rektor Unnes Fathur Rokhman hadir sebagai pembicara kunci (keynote speaker).
Pembicara lain yakni Ketua Ikatan Alumni Bimbingan Konseling Unnes, Ardina Safitri. Ardina adalah istri dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Acara dimoderatori oleh oleh Indira Gustiar, istri Wakil Rektor Unnes Hendi Pratama.
Dian Noeswantari mengatakan, cara pandang usang yang mendomestifikasi perempuan harus ditolak. Ia menuturkan peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret adalah momentum yang tepat untuk melawan bangkitnya pandangan primitif tentang posisi perempuan.
Dian bersama para akademisi dan pegiat yang tergabung dalam pernyataan sikap ini pun mendesak Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk bersikap tegas terhadap Unnes.
"Kami mendesak Komnas Perempuan untuk mengambil tindakan tegas, memberikan teguran bagi pimpinan Unnes untuk menghormati hak-hak perempuan," kata Dian.
Dian menjelaskan, hak asasi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia. Pasal 28D dan 28H Undang-undang Dasar 1945, kata dia, melindungi pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi perempuan. Selain itu, Dian mengatakan telah banyak juga upaya negara mengembalikan hak perempuan sebagai yang empunya diri sendiri.
Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengatakan upaya itu antara lain dengan adanya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghilangan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan (CEDAW), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta peraturan pelaksana lain seperti Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutsmaan Gender yang ditandatangani Abdurrahman Wahid.
Selain Dian dan Bivitri, akademisi dan pegiat gerakan perempuan lain yang turut dalam pernyataan sikap ini adalah Asfinawati (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Hani Yulindrasari (Pusat Kajian Pendampingan Krisis Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung), Mas Ayu (PPMI).
Kemudian Sri Wahyuningsih (WCC Dian Mutiara Malang), Dhia Al Uyun (Pusat Pengembangan Hukum dan Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), Karina Damayanti (P3EM Universitas Brawijaya), Satia Pungkasadi (Biro Keperempuanan BEM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), Angelina Rachel (Women Up! Brawijaya).
Bivitri mengatakan kerangka ini sudah menguatkan gagasan bahwa kontrol terhadap perempuan adalah tindakan yang melanggar HAM. Semua upaya pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi perempuan ini terus didorong lantaran pemerintah Orde Baru pernah meletakkan perempuan sebagai warga negara kelas dua dan obyek pembangunan dengan berbagai cara.
Misalnya, kata dia, ibuisasi dengan penggunaan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu serta adanya Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dengan panca karakter sebagai pendamping setia suami, pengatur rumah tangga, pencetak generasi, pembimbing anak dan anggota masyarakat.
"Keadaan ini terbukti telah menempatkan perempuan dalam posisi rentan, menimbulkan stereotype yang merugikan dalam masyarakat, menguatkan adanya multiple-burden, dan akhirnya bermuara pada kekerasan terhadap perempuan," kata Bivitri.
Baca juga: Komnas Perempuan Sebut Ada 299 Ribu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Sepanjang 2020