TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai bahwa kesibukan polisi lebih banyak karena mengurusi laporan pencemaran nama baik di kasus UU ITE.
“Upaya kepolisian kita cukup sibuk. Dari data Dittipidsiber (direktorat tindak pidana siber) ternyata dari 2017-2020 ada 15 ribu laporan yang diselidiki Dittipidsiber,” kata Damar dalam diskusi Aktivisme Digital, Polisi Siber dan Kemunduran Demokrasi, Kamis, 4 Maret 2021.
Damar menyebutkan dari 15 ribu laporan sebanyak 32 persen atau 5.064 laporan terkait pencemaran nama baik. Sisanya, 1.169 laporan terkait ujaran kebencian, dan 1.050 laporan terkait penyebaran pornografi.
“Kalau lihat dalam grafik terpisah berdasarkan jenis laporan, maka kita tahu pencemaran nama tidak pernah ada tren turun. Selalu nanjak,” kata dia.
Data tersebut, menurut Damar, juga senada dengan data SAFEnet terhadap kasus-kasus pemidanaan UU ITE. Berdasarkan kelompok klasifikasi pasal, Damar menyebut defamasi dan ujaran kebencian yang paling dominan.
Dari data SAFEnet, Damar memaparkan secara spesifik bahwa yang menjadi terlapor adalah kelompok jurnalis, aktivis, akademisi, mahasiswa, pelajar, dan buruh disasar dengan pasal-pasal bermasalah pada UU ITE.
“Berarti ada perluasan ketika kebebasan pers, akademik dan teman-teman yang bergerak di isu pembela HAM terkendala oleh adanya laporan yang dibuat dengan UU ITE,” ujarnya.
Adapun orang yang paling sering melaporkan dengan UU ITE, Damar menyebutkan sebanyak 68 persen adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Antara lain 42 persen merupakan pejabat publik, 22 persen kalangan profesi, dan 4 persen kalangan berpunya.
Baca juga: Wamenkumham Sebut 3 Pasal UU ITE Ini Multitafsir
FRISKI RIANA