TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto menilai tujuan yang tertulis dalam pedoman pelaksanaan polisi dunia maya atau virtual police dengan penerapannya berbeda.
Damar mengatakan, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa virtual police ada untuk mendukung suasana internet lebih kondusif dan sehat.
"Tapi kalau lihat penerapannya, kelihatannya agak jauh dari tujuan," ucap Damar saat dihubungi pada Kamis, 25 Februari 2021.
Sebab, dalam penerapan, polisi benar-benar hadir mengetuk 'pintu' seseorang yang dianggap menyebarkan berita bohong (hoaks) atau melakukan ujaran kebencian.
Padahal, selama ini hanya dengan adanya UU ITE, masyarakat sudah merasa khawatir. "Apalagi dijalankan virtual police. Bertambah level kekhawatirannya," kata Damar. Mereka yang terkena tegur 'langsung' didatangi oleh polisi. Anggota akan mengirimkan surat peringatan akan konten baik berupa tulisan, gambar, maupun video, kepada pemilik akun melalui Direct Messages (DM).
Pemilik akun diminta untuk mengubah atau menghapus unggahannya tersebut dalam waktu yang ditentukan. Jika pemilik akun masih enggan menghapus unggahannya, peringatan akan terus diberikan selama masih terdapat pihak yang merasa dirugikan dari unggahan itu.
Apabila kemudian orang yang merasa dirugikan itu membuat laporan polisi, maka, tugas dari kepolisian adalah memfasilitasi agar ada jalan damai lewat proses mediasi.
"Saya mengganggap virtual police akan menjadi bertambah lagi kekhawatiran orang menggunakan media sosial," kata Damar.