TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi PKB DPR menyatakan setuju revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang terpisah dengan revisi Undang-undang Pilkada. Sikap ini senada dengan apa yang dikemukakan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yakni mendukung revisi UU Pemilu tetapi menolak normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023.
"Dari awal posisi PKB seperti itu, menginginkan revisi Undang-undang Pemilu dan menolak revisi UU Pilkada," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari PKB Luqman Hakim kepada Tempo, Selasa, 23 Februari 2021. Luqman mengatakan partainya pun berkomunikasi dengan PDIP dan partai-partai lainnya.
Menurut Luqman, PKB menilai UU Pemilu perlu direvisi untuk membenahi kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019. PKB menilai ada dua aspek dari perlunya revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 ini, yakni aspek prosedural pembentukan UU dan aspek substansi legislasi.
Dari sisi prosedur dan mekanisme pembentukan undang-undang, Luqman mengatakan harus ada kesepakatan pemerintah dan DPR agar revisi UU Pemilu dapat berjalan. Namun, pemerintah telah menyatakan tak bersedia membahas revisi UU Pemilu lantaran tengah berkonsentrasi penuh mengatasi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional.
Sebagai koalisi pemerintah, kata Luqman, PKB mendukung sikap pemerintah ini. Meski begitu, ia menyebut PKB siap jika nantinya pemerintah sudah bersedia membahas revisi UU Pemilu. "PKB pada posisi siap membahas revisi UU Pemilu bersama pemerintah dan fraksi-fraksi lain di DPR," kata dia.
Dari substansi materi legislasi, PKB memiliki sembilan alasan perlunya merevisi UU Pemilu, berkaca dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Mulai dari banyaknya petugas yang menjadi korban akibat kelelahan; praktik politik uang; kegagalan pemilu memperkuat sistem presidensialisme, aturan pemilu yang belum cukup memberikan afirmasi kepada perempuan.
Kemudian dalam revisi UU Pemilu belum mengatur kewajiban domisili calon anggota legislatif di daerah pemilihan; aturan pembentukan daerah pemilihan yang dinilai belum mewujudkan keadilan representasi kursi di DPR; perlunya reformasi aturan pembiayaan untuk peserta pemilu agar tepat manfaat dan sasaran; penggunaan sistem pemilu proporsional yang dinilai perlu dievaluasi; dan belum diaturnya penggunaan teknologi untuk pelaksanaan pemilu.
Baca juga: Tidak Revisi UU Pemilu, Pratikno Bantah Istana Ingin Jegal Anies Baswedan