TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan kemungkinan besar Rancangan Undang-undang atau RUU Pemilu akan dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Supratman mengaku telah berkomunikasi dengan pimpinan fraksi-fraksi DPR terkait hal ini.
"Berdasarkan hasil komunikasi kami dengan seluruh pimpinan fraksi-fraksi, Rancangan UU Pemilu kemungkinan besar akan didrop dari Prolegnas," kata Supratman dalam acara hasil rilis sigi Lembaga Survei Indonesia, Senin, 22 Februari 2021.
Supratman mengatakan terakhir kali berkomunikasi dengan para pimpinan fraksi sebelum DPR memasuki masa reses awal pekan lalu. Ia berujar, para pimpinan fraksi tentunya sudah berkomunikasi dengan ketua umum partai masing-masing.
Perdebatan ihwal revisi UU Pemilu ini tak terlepas dari rencana normalisasi jadwal Pilkada Serentak 2024. Awalnya, kecuali PDI Perjuangan, fraksi-fraksi lain sepakat pilkada digelar pada 2022 dan 2023.
Namun, partai-partai pendukung pemerintah berubah sikap setelah Presiden Joko Widodo meminta agar pilkada tetap digelar pada 2024. Presiden juga menyatakan sebaiknya UU Pemilu tidak direvisi setiap lima tahun sekali.
Kendati begitu, Fraksi PDI Perjuangan tetap mendukung revisi UU Pemilu dilakukan. PDIP memang mengusulkan beberapa perubahan, misalnya terkait besaran ambang batas parlemen dan perubahan sistem pemilihan dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
"Untuk pilkada kami tetap, lakukan di 2024, tapi kami membuka peluang untuk revisi UU Pemilu. Mari kita sempurnakan itu supaya lebih berkualitas pemilu kita," kata anggota Komisi II DPR dari PDIP Djarot Saiful Hidayat.
Baca juga: PKS Ingin Revisi UU Pemilu Tetap Jalan dan Normalisasi Pilkada, Ini Alasannya
Fraksi lain yang juga mengusulkan rancangan UU Pemilu dilanjutkan ialah Partai Keadilan Sejahtera. Anggota Komisi II DPR dari PKS, Mardani Ali Sera mengatakan, yang perlu diubah dari UU Pemilu ialah besaran ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
PKS mengusulkan, dalam RUU Pemilu, presidential threshold diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen (kursi DPR) atau dari 25 persen menjadi 15 persen (suara nasional). Menurut Mardani, berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019, presidential threshold dengan dua calon presiden terbukti memecah belah masyarakat dan menguatkan politik identitas.