TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Papua dan pegiat HAM Veronica Koman menilai UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) contoh gagal pengaturan internet.
Itu sebabnya, menurut dia, Pemerintah tak perlu gengsi mengakui hal ini. Sebab banyak negara masih terus mencari bentuk terbaik bagaimana mengatur ruang maya tersebut.
"Saya pikir UU ITE adalah contoh yang gagal. Enggak perlu lah, terlalu gengsi gimana, karena dunia ini sedang coba-coba," kata Veronica dalam acara "Mimbar Bebas Represi" pada Sabtu, 20 Februari 2021.
Veronica Koman mengatakan hukum adalah sesuatu yang terus berkembang seiring perkembangan masyarakat. Begitu pula, hukum tentang internet yang baru berkembang beberapa dekade belakangan.
Baca: Jokowi Minta Revisi UU ITE, Ini Peta Dukungan Fraksi di DPR
Pengacara bertitel master dari Australian National University ini mengatakan hingga sekarang belum ada hukum internasional yang saklek tentang bagaimana sebaiknya pengaturan internet.
"Di berbagai negara di dunia termasuk US yang demokrasinya bagus juga sedang struggling. Bagaimana sih yang benar."
Veronica menjelaskan, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kebebasan berekspresi pada tahun lalu menyampaikan kompilasi contoh sukses dan contoh gagal pengaturan internet di dunia.
Ia menyarankan contoh ini dirujuk jika kelompok masyarakat sipil akan menyampaikan aspirasi revisi UU ITE kepada DPR.
"Kalau ada mau lobi ke DPR bisa dilampirkan, ini yang menurut UN lebih suitable dan civilized," ujar Veronica.
Kelompok masyarakat sipil mendorong UU ITE direvisi. Setelah bertahun-tahun disuarakan, desakan ini dinilai mendapat momentum lantaran Presiden Joko Widodo membuka peluang revisi UU ITE itu pada Senin lalu, 15 Februari 2021.
Alih-alih melakukan revisi UU ITE, sejumlah pejabat pemerintah malah mengarahkan pembuatan interpretasi resmi atas pasal-pasal multitafsir dalam undang-undang itu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md membentuk dua tim, yakni untuk mengkaji revisi UU dan untuk membuat pedoman interpretasi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin mengatakan pedoman interpretasi tak akan cukup menjawab persoalan pasal karet UU ITE. Ia mengatakan, bisa saja setiap lembaga penegak hukum memiliki pedoman interpretasi masing-masing yang hanya mengikat secara internal.
"Kami sangat menolak interpretasi UU ITE tanpa adanya revisi, kalau mau ada interpretasi harus ada revisi," ujar Ade.