TEMPO.CO, Jakarta-Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto mengatakan pemerintah tak masalah jika memang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu direvisi. Menurut dia, revisi tersebut bisa untuk menambahkan hal-hal yang belum diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 itu, misalnya mengenai anonimitas di media sosial.
Henry mencontohkan, saat ini banyak keluhan tentang pendengung atau buzzer di media sosial. Di sisi lain, kata dia, sulit mengkategorikan pengguna yang anonim sebagai buzzer, cyber army, atau masyarakat sipil. "Misalnya mengenai buzzer-buzzer yang anonim, sekarang orang ribut ini buzzer harus ditertibkan. Padahal ini bener-bener buzzer atau masyarakat atau cyber army, kita sulit juga membedakan," kata Henry dalam diskusi, Sabtu, 20 Februari 2021.
Henry berujar saat ini memang belum ada aturan yang melarang anonimitas di media sosial, sehingga poin ini bisa saja diatur jika nantinya revisi UU ITE jadi dilaksanakan. "Ini bolehlah kita coba nanti kalau ada revisi, ya kita perkuat, kita lengkapi," kata Henry.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Imelda Sari mengatakan penting merevisi UU ITE untuk mengatur ihwal anonimitas ini. Ia mengatakan selama ini banyak buzzer yang tak bisa diproses hukum karena identitas mereka tak jelas. "Namanya buzzer, hari ini layak kita membahas UU ITE karena akun-akun anonim itu tidak akan bisa dilanjutkan ketika Kepolisian bingung tidak ada namanya," ujar Imelda.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, mengimbuhkan buzzer sebenarnya dapat ditertibkan jika pemerintah memiliki kekuatan untuk menekan over the top application (OTT) seperti Facebook, Twitter, dan lainnya. "Kita selama ini dilecehkan oleh mereka. Bikin kita jadi mandiri dulu, tugas Kominfo ini, sehingga kita bisa berkuasa di negara kita sendiri," kata Pratama.
Meski begitu, Henry Subiakto tak sepakat dengan anggapan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bermasalah. Ia mengatakan kedua pasal itu telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi dan ditolak oleh MK. "Yang berhak menentukan ini salah atau tidak, salah atau tidak, ya MK. Bukan media, wartawan, aktivis, bukan pula Mbak Najwa Shihab, atau siapa pun, ya MK," kata Henry.
Henry juga membantah UU ITE menghambat kebebasan berpendapat dan kritik dari masyarakat. Merujuk data Safenet, ia beralasan penggunaan UU ITE untuk pelaporan ke polisi paling banyak terjadi antarmasyarakat. Henry mengakui memang banyak pejabat pemerintah yang melaporkan masyarakat menggunakan UU ITE. "Tapi pemerintah di mana? Ada pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat," ujarnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca Juga: YLBHI Anggap Penggunaan Buzzer oleh Pemerintah Ancam Demokrasi