TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai niat Presiden Joko Widodo merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya pengecilan masalah kebebasan berpendapat.
Ia juga menilai revisi Undang-undang ITE hanyalah pengalihan isu dari problem kebebasan berpendapat yang lebih besar.
Menurut Asfinawati, problem sebenarnya adalah demokrasi Indonesia sudah tergerus sangat dalam, terutama terkait kebebasan menyampaikan pendapat.
"Pernyataan Pak Presiden mau merevisi Undang-undang ITE itu, kalau serius ya, adalah pengecilan masalah kebebasan berpendapat dan juga pengalihan masalah inti, yaitu tergerusnya demokrasi Indonesia," kata Asfinawati dalam webinar, Jumat, 19 Februari 2021.
Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan terbukanya peluang untuk merevisi Undang-undang ITE. Jokowi juga mengatakan Indonesia adalah negara demokrasi yang menghormati kebebasan berpendapat dan berorganisasi.
Asfinawati membeberkan bukti-bukti dari tergerusnya demokrasi dalam kebebasan berpendapat tersebut. Ia mencontohkan berbagai telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang isinya mengancam kebebasan berpendapat. Misalnya telegram yang menginstruksikan jajarannya melaksanakan patroli siber memantau hoaks mengenai Covid-19 dan kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah.
Telegram itu menggunakan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait penghinaan kepada presiden. Padahal, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pasal itu harus bersifat delik aduan. Selain itu, ada juga telegram Kapolri menjelang aksi penolakan pengesahan Undang-undang Cipta Kerja pada Oktober 2020.
Baca juga: Kapolri Sebut Pasal Karet di UU ITE Sering Digunakan untuk Kriminalisasi
Kapolri, ketika itu Jenderal Idham Azis, memerintahkan jajarannya membangun opini di media sosial untuk melawan narasi penolakan UU Cipta Kerja. Asfinawati menilai, Kepolisian berlaku seperti Departemen Penerangan di era Orde Baru yang melakukan kontranarasi. Selain itu, Kapolri juga menginstruksikan pencegahan aksi unjuk rasa dari hulu hingga hilir.
"Ada pelanggaran-pelanggaran yang menjadi turunan dari telegram Kapolri, kalau kita anggap ini pelanggaran HAM berat (dalam kebebasan berpendapat), sistematisnya udah terbukti karena ada kebijakannya," ujar dia.
YLBHI juga mencatat ada banyak persoalan dalam penegakan hukum yang terkait kasus kebebasan berpendapat. Dari 103 tersangka di kasus ini, kata dia, hanya 29 tersangka di antaranya yang diambil keterangan setelah ditahan. Padahal merujuk Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan.
"Artinya kalau di Indonesia, penahanan tidak untuk kepentingan pemeriksaan tetapi menjadi instrumen akselerasi penghambatan kebebasan berpendapat," kata Asfinawati.
Maka dari itu, Asfinawati meminta pemerintah tak cuma berbicara tentang revisi Undang-undang ITE. Lebih jauh dari itu, dia mengatakan problem kebebasan berpendapat bukan hanya terletak pada UU ITE. "Tapi juga ada pelanggaran hak sipil untuk orang yang menyampaikan pendapat di muka umum atau demonstrasi dan ketika masyarakat mencari dan menyampaikan informasi," ucapnya.