TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Nusantara kini sedang digadang-gadang sebagai inovasi karya dalam negeri. Vaksin Covid-19 ini dikembangkan oleh eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bersama tim peneliti dari Laboratorium RSUP Kariadi Semarang, Jawa Tengah. Riset juga menggandeng Aivita Biomedical Corporation dari Amerika Serikat dan Universitas Diponegoro.
Vaksin ini tengah memasuki uji klinis fase II. Uji klinis fase I untuk mengetahui keamanan vaksin telah selesai dilaksanakan pada akhir Januari 2021. "Hasil uji klinis fase pertama baik, tanpa ada keluhan berat yang dirasakan oleh 27 relawan vaksin," kata salah seorang peneliti, Yetty Movieta Nency, dikutip dari Antara, Jumat, 19 Februari 2021.
Adapun uji klinis fase II untuk menentukan efektivitas vaksin melibatkan lebih banyak relawan, yakni; 180 orang. Pada uji klinis fase III guna menentukan pengaturan dosis akan melibatkan 1.600 relawan.
Vaksin Nusantara ini dikembangkan menggunakan metode berbasis sel dendritik autolog yang diklaim menjadi yang pertama di dunia untuk Covid-19. Selama ini, teknologi sel dendritik masih dilakukan untuk pengobatan kanker melalui teknik rekombinan dengan mengambil sel, lalu dikembangkan di luar tubuh, sehingga dengan teknik tersebut dapat dihasilkan vaksin.
Baca: Kemenkes Bantu Danai Uji Klinis Vaksin Nusantara Gagasan Terawan
Dalam dunia kedokteran, sel dendritik merupakan sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun, dimana proses pengembangbiakan vaksin Covid-19 dengan sel dendritik akan terbentuk antigen khusus, kemudian membentuk antibodi. Prosesnya diawali dengan mengambil darah pasien. Kemudian diambil sel darah putih dan sel dendritiknya. Sel ini kemudian dikenalkan dengan rekombinan dari SARS-CoV-2. Prosesnya dapat ditunggu sekitar tiga hari sampai seminggu, lalu disuntikkan kembali ke dalam tubuh.
Yetty mengklaim, reaksi penolakan tubuh terhadap vaksin ini sangat rendah lantaran berasal dari sel yang diambil dari tubuh penerima. Jika nanti diproduksi massal, lanjut dia, harga satu dosis Vaksin Nusantara lebih murah, hanya sekitar US$ 10 karena biaya produksinya yang hemat.
Bekas Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto mengatakan bahwa Vaksin Nusantara bersifat "personalized" dan efektif untuk segala usia, mulai dari anak-anak hingga di atas 60 tahun, termasuk semua penyakit penyerta (komorbid).
"Dengan adanya dukungan dari Komisi IX DPR RI untuk memproduksi Vaksin Nusantara ini, maka mudah-mudahan ada percepatan karena untuk vaksin ini harus ada 'extraordinary' agar negara kita bisa sejajar dengan negara-negara produksi vaksin. Hanya saja platform kita berbeda," ujar dia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih mengevaluasi Vaksin Nusantara yang dikembangkan Terawan dkk ini. Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima data hasil uji klinik fase I Vaksin Nusantara. Selanjutnya, BPOM melakukan evaluasi terhadap data tersebut.
"Masih dalam evaluasi sebelum mengeluarkan Protokol UK Fase 2, untuk kehati-hatian aspek keamanan dan khasiatnya," ujar Penny saat dihubungi Tempo, Jumat, 19 Februari 2021. Untuk itu, kata Penny, masih terlalu dini mengklaim khasiat vaksin ini.
Subdirektorat Penilaian Uji Klinik dan Pemasukan Khusus BPOM, Siti Asfijah Abdoella mengatakan, vaksin Nusantara dapat berlanjut pada uji klinis fase II apabila kriteria fase I sudah terpenuhi terutama terkait keamanan, khasiat dan mutu produk farmasi.
DEWI NURITA | ANT