TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menyentil pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah.
"Beberapa hari lalu presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya," ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seperti ditayangkan di kanal YouTube PKS TV, dikutip pada Sabtu, 13 Februari 2021.
Menurut JK, demokrasi tak bisa menghilangkan kritik, check and balance amat diperlukan. Sehingga, keberadaan partai oposisi dalam hal ini sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.
“PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi keseimbangan dan kontrol di pemerintahan. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik,” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Hal ini, kata Jokowi, adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," kata Jokowi, Senin lalu.
JK menyoroti Indeks Demokrasi Indonesia 2020 yang turun, misalnya. Menurut versi The Economist Intelligence Unit (EIU), dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia anjlok 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020).
Indonesia bahkan hanya mencetak skor 37 poin, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 43 poin. Secara global, level pemberantasan korupsi Indonesia saat ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (85 poin), Brunei Darussalam (60 poin), atau Malaysia (51 poin).
Jusuf Kalla menyebut, hal tersebut terjadi karena demokrasi di Indonesia yang terlalu mahal. Akhirnya, demokrasi tidak berjalan dengan baik. "Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa, menjadi bupati dan menjadi calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal, maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi. Maka disitulah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itulah yang terjadi,” tuturnya
Baca juga: Jokowi Minta Dikritik, Rocky Gerung Sebut Permainan Dua Muka