TEMPO.CO, Jakarta-Politikus Partai Gerindra Fadli Zon menanggapi turunnya Indeks Demokrasi Indonesia di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam laporan ini, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme; 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah; 6,11 untuk partipasi politik; 4,38 untuk budaya politik; dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil.
"Jumlah skor yang diperoleh Indonesia tahun 2020 ternyata merupakan perolehan teredah dalam 14 tahun terakhir," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tempo, Senin, 8 Februari 2021.
Fadli mengatakan EIU memang mencatat terjadinya penurunan secara global sepanjang pandemi Covid-19. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5,37, menurun dari tahun sebelumnya di angka 5,44.
Angka 5,37 ini juga tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU pertama kali merilis laporan tahunannya pada 2006. "Namun turunnya skor kita ke angka paling rendah sepanjang sejarah tentunya bukanlah sesuatu yang pantas dimaklumi," ujar Fadli.
Fadli berujar turunnya indeks demokrasi Indonesia bisa menjadi hal buruk di tengah pandemi Covid-19. Ia pun mengaitkan laporan EIU ini dengan riset Transparency International (TI), bahwa makin lemahnya demokrasi biasanya akan berbanding lurus dengan makin tingginya angka korupsi.
Baca Juga:
Padahal, kata dia, praktik korupsi bisa kian memperburuk dampak pandemi. Sayangnya, Fadli melanjutkan, situasi buruk itulah yang sedang berlangsung di Indonesia. Merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang disusun TI, selama setahun pandemi Indonesia dianggap mengalami kemunduran besar dalam gerakan antikorupsi.
Dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia anjlok 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020). Indonesia bahkan hanya mencetak skor 37 poin, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 43 poin. Secara global, level pemberantasan korupsi Indonesia saat ini jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (85 poin), Brunei Darussalam (60 poin), atau Malaysia (51 poin).
Bahkan, kata Fadli, Indonesia kalah dari Timor Leste yang mampu mencetak 40 poin. Menurut dia, hal ini memprihatinkan dan memalukan. "Turunnya Indeks Demokrasi dan anjloknya Indeks Persepsi Korupsi secara bersamaan adalah sebuah kabar buruk," ujar dia.
Fadli menuturkan negara-negara demokrasi dan tidak korupsi diyakini akan bisa merespons pandemi Covid-19 dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat ketimbang negara-negara yang kurang demokratis dan korup. Sehingga, ujar dia, kualitas demokrasi dan kemajuan gerakan pemberantasan korupsi merupakan faktor yang cukup menentukan kapan sebuah negara bisa keluar dari pandemi dan memulihkan diri.
Fadli mengatakan, menurut TI, korupsi cenderung membuat negara gagal memberikan respons tepat untuk mengatasi pandemi. Negara-negara yang korup juga biasanya tak mampu menyediakan jaminan sosial dan kesehatan yang layak untuk warga.
Di Indonesia, kata dia, publik terus-menerus disuguhi kasus korupsi besar selama pandemi. Mulai dari kasus Jiwasraya, Asabri, BPJS Ketenagakerjaan, hingga korupsi dana bansos. Celakanya, ujar Fadli, semua kasus rasuah ini berhubungan dengan sistem jaminan sosial dan kesehatan.
"Jadi jika ada yang menganggap remeh turunnya Indeks Demokrasi serta anjloknya Indeks Persepsi Korupsi, mereka pastilah tidak menyadari dampak turunnya hal-hal tadi bagi masa depan kita dalam mengatasi pandemi," ujar Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat ini.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca Juga: Indeks Demokrasi Indonesia 2019 Naik, Tapi 6 Aspek Ini Masih Buruk