Dalam SKB 3 Menteri hanya menyebutkan menyediakan portal pengaduan baik secara daring maupun luring. "Tampaknya, SKB 3 Menteri berharap korban, baik peserta didik, orang tuanya dan pendidik yang mengadu sehingga bisa di tindaklanjuti untuk diberikan sanksi. Bagaimana kalau tidak ada pengaduan karena korban takut mengadu?," tutur Retno.
Wasekjen FSGI, Mansur menambahkan catatan soal sanksi. "Pada SKB juga tidak jelas disebutkan sanksi yang akan diberikan itu berdasarkan aturan yang mana," tuturnya.
Ia mencontohkan sanksi untuk kepala sekolah maupun guru. "Apakah berkaitan dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, atau Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, atau UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Harus ada kejelasan,” kata Mansur.
Untuk itu, FSGI memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, sosialisasi SKB 3 Menteri harus dilakukan secara masif, minimal selama satu tahun atau setidaknya sampai dengan PJJ selesai. Kedua, pelibatan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam sosialisasi SKB karena pro kontra terkait SKB ini telah berubah menjadi pertentangan dan perdebatan antar agama bukan hanya sekedar urusan seragam sekolah.
Ketiga, Kemendikbud diminta memastikan bahwa guru, siswa dan pegawai sekolah yang memilih tidak menggunakan seragam khas keagamaan tertentu mendapat perlindungan dari tindakan diskriminasi dalam lingkungan sekolah maupun dalam proses belajar mengajar.
Keempat, FSGI mendorong siswa, guru, pegawai sekolah dan orang tua agar berani melaporkan tindakan intoleran dalam penggunaan seragam sekolah.
Kelima, perlu dilakukan revisi terhadap SKB 3 Menteri terkait dengan batas waktu pencabutan aturan tertulis penggunaan seragam sekolah yang intoleran dan sanksi yang akan diberikan. "Setidaknya ada aturan tambahan yang memperjelas batas waktu pencabutan aturan tersebut dan sanksi yang akan diberikan kepada kepala sekolah dan guru".
Baca juga: SKB 3 Menteri Soal Seragam Dituding Upaya Sekularisasi, Wamenag: Berlebihan
DEWI NURITA