TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN tentang Sertifikat Tanah Elektronik melanggar aturan yang lebih tinggi.
"Penerbitan Permen terkait sertifikat elektronik ini melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni PP Nomor 24 Tahun 1997 terkait Pendaftaran Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996 terkait HGU, HGB dan Hak Pakai, serta UU Nomor 5 Tahun 1960 terkait Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria," kata Dewi kepada Tempo, Kamis, 4 Februari 2021.
Dewi menjelaskan, permasalahan dari adanya peraturan menteri tersebut bukan soal elektronik atau nonelektronik. "Problemnya adalah, kita belum melakukan langkah awal dan utama, yaitu pendaftaran tanah secara nasional, sistematis dan serentak, tanpa kecuali," katanya.
Terkait pendaftaran tanah, Dewi menjelaskan UU Pokok Agraria memandatkan pemerintah untuk meregister seluruh tanah di Indonesia. Pemberian surat bukti adalah tahap akhir.
Baca: Penggantian Buku Tanah Jadi Sertifikat Elektronik Dianggap Belum Dibutuhkan
Menurut Dewi, pemerintah juga seharusnya merevisi Pasal 1 PP Pendaftaran Tanah, termasuk soal surat ukur, buku tanah dan sertifikat. Juga Pasal 7 pada PP Nomor 40 Tahun 1996 terkait HGU. "Pemerintah harus melihat dampak sosial lebih jauh dari percepatan legalisasi tanah dan digitalisasinya," kata dia.
Selain itu, Dewi mengatakan bahwa rakyat berhak menyimpan sertifikat tanah asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus. Hal lainnya, sertifikat tanah elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuannya memudahkan data base tanah di kementerian. "Jadi digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli," ujarnya.
FRISKI RIANA