TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian mengatakan masyarakat dapat menggugat peraturan daerah (perda) intoleran melalui uji materi di Mahkamah Agung. Mekanisme lainnya, kata Tito, yakni gugatan dari pihak ketiga atau pihak yang dianggap berbeda pendapat tentang perda intoleran itu, lalu diajukan ke MA.
"Karena untuk setingkat perda yang menguji adalah MA," ujar Mendagri Tito di sela penandatangan SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, di Jakarta, Rabu, 3 Februari 2021.
Menurut Tito, Kemendagri dapat mendorong agar dilakukan revisi perda tersebut di DPRD. Dia juga sudah menugaskan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum untuk mengevaluasi dan mengkaji tentang peraturan daerah yang berbau intoleransi.
“Saya tidak ingin spesifik daerah mana saja dan apa saja temuannya. Namun ada hal lain, kalau dulu Kemendagri dapat menganulir perda yang berbau SARA atau intoleran, tapi dengan keputusan MK pada 2015, Kemendagri tidak lagi mempunyai kewenangan melakukan evaluasi atau menganulir perda yang ditetapkan daerah," katanya.
Tito menuturkan Kemendagri punya sejumlah instrumen untuk mencegah pembentukan Perda SARA atau intoleran, yakni pada saat mekanisme penyusunan rancangan perda. “Ada kewenangan dari Ditjen Otonomi Daerah untuk melakukan fasilitasi. Jika ada momen atau substansi yang mengarah pada intoleran dan membahayakan, kita bisa melakukan masukan dan koreksi," ujar Tito
Hal itu dilakukan untuk menjaga daerah agar sesuai dengan nilai pluralisme, toleran dan moderat. Sejumlah aturan sekolah yang mewajibkan maupun melarang atribut keagamaan berakar dari sejumlah perda yang disinyalir intoleran.
Baca Juga: Jakarta Paling Intoleran Ketiga, Ini Hasil Survei Selengkapnya