TEMPO.CO, Mamuju - Dua pekan lalu gempa Mamuju mengguncang Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Tetapi masih menyisakan reruntuhan bangunan, sisi kanan-kiri jalan tanjakan menuju tempat pengungsian masih berserakan. Jaraknya sekitar 100 meter dari Jalan Trans Sulawesi. Masyarakat berdomisili Desa Botteng Utara, Kecamatan Simboro belum fokus membersihkan puing rumahnya akibat gempa.
Mereka masih menegakkan tenda dengan menambahkan empat tiang kayu. Kemudian terpal berwarna biru dijadikan atap, yang dibangun masing-masing korban. Menjelang magrib, pelbagai aktivitas dilakukan warga di lokasi pengungsian tepatnya di Dusun Sendana. Ada yang berkumpul sambil bercerita, bercanda, berolahraga, serta anak-anak yang bermain di sela-sela tenda.
“Ada warga yang mulai membersihkan rumahnya,” ucap Kepala Desa Botteng Utara, Kecamatan Simboro, Syahril, Sabtu 30 Januari 2021.
Semangat warga, kata dia, mulai bangkit karena sudah pergi berkebun. Para korban pun mulai melempar senyuman saat ada orang yang berkunjung. Menurut Syahril, pola-pola komunikasi dan saling memotivasi menjadi kunci untuk menghilangkan ketakutan.
Apalagi juga ada bantuan dari relawan dalam mendirikan tenda hingga memberikan logistik. Itu yang membuat situasi mulai membaik. “Saling memotivasi dan berkoordinasi bisa menghilangkan ketakutan,” tutur dia.
Juma, perempuan 60 tahun ini bahkan langsung membersihkan rumahnya dua hari setelah terjadi gempa. Namun saat mengangkat batu bata mengenai betis sebelah kirinya, sehingga membuat dia terluka. Puing batu bata itu dibersihkan lantaran mengganggu jalan. “Masih bisa jalan, cuman masih sakit,” kata menantunya, Udin, 45 tahun.
Baca: Gempa Sulbar: Menko PMK Sebut Pemerintah Akan Bantu Rumah Warga yang Rusak
Dia berharap luka yang ada dialami mertuanya cepat mendapatkan pengobatan supaya lekas sembuh. Saat ini, lanjut Udin, Juma hanya berada di tenda untuk proses penyembuhan. Karena seluruh tembok rumah berukuran 5x12 meter persegi itu telah hancur.
Lenni, 30 tahun, mengatakan hal serupa. Ia melakukan pembersihan saling bergotong royong. Untuk menghilangkan rasa trauma pada anak, ia mengajak anak-anak bermain dan mengaji. Sedangkan ibu-ibu saling mendukung jika cobaan ini bisa dilalui bersama dan cepat pulih kembali.
Semua dilakukan agar rasa takut dalam peristiwa gempa itu terlupakan. Bahkan, keponakan laki-laki dia usia tiga tahun takut masuk ke rumah, setelah kakinya tertimpa bangunan. “Sore hari kita ajak bermain supaya terhibur, dan ibu-ibu cerita saling mendukung,” ujar dia.
Guru mengaji, Arifin, 49 tahun mengatakan setiap malam anak-anak diajak mengaji setelah salat magrib di Masjid Darurat. Selama ini masjid yang ditempati beribadah telah rata dengan tanah. Namun itu tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk beribadah.
Dengan begitu, ia meyakini bisa menghilangkan perasaan trauma akibat gempa lalu. “Tapi sekarang terbatas hanya dua kali seminggu mengaji,” tutur dia yang menyebutkan jika dulunya mengaji empat kali dalam sepekan.
Kepala Desa Botteng Utara, Syahril menambahkan total kepala keluarga yang ada di tempat pengungsian sebanyak 150. Sedangkan 250 KK lainnya mendirikan tenda di Dusun Popanga dan Pasada.
Musababnya tenda di lapangan sepak bola ini tidak bisa menampung semua masyarakat, sehingga ada juga warga yang mendirikan tenda di depan rumahnya. Khusus di wilayahnya, lanjut dia, ada satu korban yang meninggal akibat gempa, enam orang luka berat, dan 20 luka ringan. “Semua warga mengungsi karena 90 persen rumah rusak berat dari total 350 unit, jadi tidak bisa ditempati,” ucap Syahril.
Senior Manager Aksi Cepat Tanggap (ACT), Dede Abdul Rahman mengatakan pihaknya tengah melakukan pemulihan dengan beberapa program bagi korban gempa Mamuju. Misalnya penyembuhan trauma, mengajak warga berkomunikasi, mendirikan tenda darurat, hingga membagikan makanan siap saji setiap hari. “Jadi kami lakukan recovery dengan beberapa program, termasuk membangun hunian yang nyaman,” tambah Dede.
Didit Hariyadi