TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi semestinya menggunakan momentum revisi Undang-undang Pemilu, termasuk normalisasi Pilkada 2022 dan 2023, sebagai warisannya untuk penguatan demokrasi. Namun pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri justru telah bersikap menolak revisi UU tersebut.
"Pak Jokowi tidak melihat RUU Pemilu ini sebagai produk strategis legacy dia bagi penguatan demokrasi Indonesia," kata Titi dalam sebuah diskusi, Sabtu, 30 Januari 2021.
Titi mengatakan, dengan masa jabatan yang berakhir 2024, Presiden Jokowi mestinya menyiapkan jalan agar kader-kader terbaik bangsa ini dapat berkontestasi di Pemilu 2024. Titi menilai sikap ini juga dapat menunjukkan komitmen Jokowi terhadap demokrasi yang belakangan makin diragukan.
"Komitmen dia terhadap demokrasi yang oleh banyak orang dipandang tidak terlalu konkret sebenarnya bisa diwujudkan melalui revisi UU Pemilu," kata Titi.
Titi menganggap fraksi-fraksi di DPR sebenarnya sepakat berpendapat bahwa aturan pemilu harus dievaluasi. Namun, dia pun memahami bahwa revisi undang-undang tak bisa dilakukan oleh DPR saja tanpa persetujuan pemerintah.
Menurut Perludem, revisi UU Pemilu justru perlu dilanjutkan demi memperbaiki desain sistem kepemiluan. Beberapa poin krusial yang dinilai perlu dievaluasi ialah keserentakan pemilu dan ambang batas pencalonan presiden.
Perbaikan tentang keserentakan pemilu dinilai penting berkaca dari kompleksitas Pemilu Serentak 2019 yang merenggut korban jiwa dari pihak penyelenggara. Titi mengingatkan beban penyelenggara akan semakin berat jika pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah digelar di tahun yang sama pada 2024 nanti.