Pergub itu ditengarai diterbitkan secara diam-diam dan publik diminta hanya bisa menerimanya tanpa memberi masukan atau usulan. “Asas keterbukaan adalah pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka,” kata Yogi.
Maka, ujar Yogi, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun dengan tiba-tiba munculnya Pergub ini, hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, baik melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi atau seminar, lokakarya dan/atau diskusi publik, diduga tidak pernah dipenuhi oleh Gubernur Provinsi DIY.
Selain melanggar asas keterbukaan, Pergub Pembatasan Unjuk Rasa juga melanggar asas-asas umum penyelenggaraan negara yang salah satunya ialah asas kepentingan umum. “Asas partisipatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti diatur Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, diabaikan pula oleh gubernur,” kata dia.
Yogi menilai ada sikap yang tidak konsisten dari Gubernur Provinsi DIY dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam hal SOP New Normal DI Yogyakarta, gubernur mengatakan akan diuji publik dulu.
Berangkat dari hal-hal itu, aliansi menyimpulkan Gubernur Provinsi DIY Sri Sultan HB X terindikasi telah melakukan maladministrasi sebagai dimaksud pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. “Kami meminta ORI untuk menindaklanjuti laporan ini dengan melakukan tugas dan wewenangnya,” ujarnya.
Baca juga: Sultan HB X Minta Aktivis Gugat Pergub Pembatasan Unjuk Rasa ke PTUN
PRIBADI WICAKSONO