TEMPO.CO, Jakarta - Tim Komnas Penilai Obat, Jarir At Thobari, menjelaskan alasan tingkat efikasi vaksin Sinovac hasil uji klinis di Bandung jauh berbeda dengan Turki dan Brasil.
"Pertama, banyak faktor yang mempengaruhi terutama dari epidemiologi Covid-19 sendiri di Indonesia," kata Jarir dalam konferensi pers, Senin, 11 Januari 2021.
Faktor lainnya, Jarir menyebutkan, yaitu perilaku masyarakat, proses transmisi dari satu orang ke orang lain, dan karakteristik populasi atau subyek yang diikutsertakan dalam penelitian.
Di Turki, kata Jarir, subyek uji klinisnya adalah 20 persen tenaga kesehatan dan 80 persen orang yang memiliki risiko tinggi. "Sehingga ini bisa dengan angka penularan tinggi, terutama pada risiko tinggi bisa mengakibatkan angka kejadian atau efikasi jadi lebih tinggi juga," katanya.
Adapun di Brasil, subyek uji klinisnya adalah para tenaga kesehatan. Sementara di Bandung, relawan vaksin merupakan populasi umum. Menurut Jarir, hal tersebut justru menjadi informasi yang cukup baik bagi Indonesia. "Karena populasi umum itu perlindungannya segitu," kata dia.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan efikasi vaksin Covid-19 Sinovac yang diuji klinik di Bandung menunjukkan sebesar 65,3 persen.
"Hasil analisis terhadap efikasi vaksin corona yang diuji klinik di Bandung menunjukkan 65,3 persen, yang berdasarkan laporan dari efikasi vaksin di Turki sebesar 91,25 persen, serta di Brasil 78 persen," kata Penny.
Penny mengatakan, hasil tersebut sesuai dengan persyaratan WHO bahwa minimal efikasi vaksin adalah 50 persen. Efikasi 65,3 persen tersebut, kata Penny, menunjukkan harapan bahwa vaksin mampu menurunkan kejadian penyakit Covid-19 sebesar 65,3 persen.