TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, Sugito Atmo Prawiro, menilai langkah pemerintah menetapkan FPI sebagai organisasi terlarang, adalah ujung dari kriminalisasi panjang terhadap Rizieq.
"Nampak sekali bahwa pemerintah mengambil langkah komprehensif untuk menghabisi setiap potensi kekuatan yang dimiliki HRS dalam menjalankan kegiatan mengontrol pemerintahan," kata Sugito dalam keterangan tertulis, Rabu, 30 Desember 2020.
Sugito menilai, dengan bubarnya FPI, ia melihat pemerintah mempersepsikan bahwa Rizieq tidak lagi memiliki kendaraan yang terorganisir dalam memobilisasi massa. Namun ia melihat langkah ini percuma saja. "Sayangnya, pemerintah melupakan satu hal, bahwa ketidakadilan dalam praktek penyelenggaraan negara dan penegakan hukum tidak sekedar berhadapan dengan FPI," katanya.
Sugito menggarisbawahi langkah pemerintah, khususnya Kepolisian, yang menurut dia terus berupaya menjerat hukum Rizieq dengan berbagai kasus. Mulai dari kasus dugaan pronografi pada 2017 silam hingga belakangan kasus kerumunan massa di saat pandemi Covid-19, yang akhirnya membuat Rizieq ditahan.
Sugito menyebut langkah penegakan hukum terhadap Rizieq di luar nalar hukum dan kebenaran objektif. Polisi ia tuding tidak lagi peduli dengan kebenaran materiil dan sebagainya, karena menurut Sugito, tujuan sebenarnya hanyalah untuk menangkap dan menahan Rizieq.
Bagi dia, saat ini hukum hanya dijadikan alat legal formal untuk mensahkan perampasan hak asasi warga negara yang selalu berekspresi menyerukan ketidakadilan negara. "Semua orang kini menyadari bahwa pesan di balik kasus ini sangatlah sederhana. Siapapun yang memiliki kaliber seperti HRS, memiliki pengikut besar, dapat mempengaruhi persepsi publik untuk mendelegitimasi penguasa, akan bernasib sama dengan HRS," kata Sugito.