4. Ramai-ramai Buzzer Jokowi
Agustus hingga September lalu, isu tentang pendengung alias buzzer menyeruak di publik. Istana diduga menggunakan jasa pemengaruh (influencer) dan buzzer untuk menggaungkan sejumlah isu di media sosial. Penelusuran Majalah Tempo menemukan buzzer bergerak di isu pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan revisi UU KPK pada 2019, perombakan kabinet, penanganan pandemi Covid-19, hingga UU Cipta Kerja.
Kampanye mendukung RUU Cipta Kerja oleh para pesohor ini dilakukan dengan tagar #IndonesiaButuhKerja lewat media sosial. Musikus Ardhito Pramono mengaku mendapat Rp 10 juta untuk setiap unggahan. Beberapa pesohor belakangan mengaku tak mengetahui kampanye yang mereka publikasikan ternyata terkait dengan RUU Cipta Kerja. Ardhito Pramono, misalnya, mengaku merasa ditipu. Ardhito dan sejumlah pesohor mengaku mengembalikan uang honor yang mereka terima.
5. Revisi UU MK
DPR dan pemerintah merevisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi dalam proses yang berlangsung cepat dan tertutup. Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU MK hanya berlangsung selama tiga hari sebelum RUU MK akhirnya disahkan pada 1 September 2020. Salah satu poin revisi yang disorot ialah perpanjangan masa jabatan hakim hingga usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tak melebihi 15 tahun.
Sejumlah pakar hukum tata negara menilai poin revisi ini tak sesuai dengan kebutuhan MK. Sebaliknya, perpanjangan masa jabatan dicurigai justru menjadi 'gula-gula' DPR dan pemerintah untuk hakim MK yang menjabat saat ini. Poin revisi juga diduga merupakan hasil kajian MK di era kepemimpinan Arief Hidayat. Ketika dikonfirmasi, Arief menolak berkomentar lantaran hasil revisi ini berpotensi menjadi perkara di MK.
Sekretaris Nasional Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, Erwin Natosmal Oemar mengatakan revisi UU MK ini patut dicurigai terkait dengan sejumlah undang-undang kontroversial yang dihasilkan DPR dan pemerintah. Contohnya adalah Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Cipta Kerja (ketika itu masih RUU). “Patut dicurigai karena banyak RUU bermasalah yang di-propose DPR yang akan diuji di MK,” kata Erwin pada Kamis, 27 Agustus 2020.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berbincang dengan Ketua DPP PDIP Bidang Pemerintahan dan Pertahanan Keamanan Puan Maharani dalam acara pengumuman calon kepala daerah gelombang I di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
6. Megawati Menyentil Milenial
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati menyentil generasi milenial dalam pidatonya di momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020. Mengaku meminta agar Presiden Joko Widodo tak memanjakan generasi Y ini, Megawati juga mempertanyakan sumbangsih milenial untuk bangsa. Menurut Megawati, generasi milenial hanya bisa berdemonstasi, salah satunya demonstrasi menolak Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR dan pemerintah pada 5 Oktober 2020.
Pernyataan Presiden kelima RI ini ramai dikritik publik. Ia dianggap menafikan banyak generasi muda yang berkontribusi bagi bangsa, termasuk lewat demonstrasi menolak undang-undang yang dinilai akan merugikan rakyat banyak. Meski begitu, Megawati tetap menyinggung sumbangsih milenial ini dalam sejumlah pidatonya yang lain.
7. Insiden Puan Matikan Mic dan Sumbar Pendukung Pancasila
Ketua DPR Puan Maharani tersangkut dua insiden kontroversial sepanjang tahun 2020 ini. Insiden pertama adalah ucapan terkait "Sumatera Barat dan Pancasila" pada 2 September lalu. Ketika mengumumkan daftar pasangan calon yang diusung PDIP di Pemilihan Gubernur Sumbar 2020, Puan tiba-tiba menyampaikan harapan agar provinsi tersebut menjadi pendukung Pancasila.
Sejumlah politikus asal Sumatera Barat berekasi. Buntutnya, calon gubernur-wakil gubernur Sumbar yang diusung PDIP, Mulyadi-Ali Mukhni akhirnya mengembalikan surat dukungan pencalonan. Akhirnya, partai banteng pun tak bisa mengikuti pemilihan gubernur Sumbar.
Insiden kedua adalah saat Puan kedapatan mematikan mikrofon politikus Demokrat saat interupsi di rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020. PDIP menyatakan aksi itu lantaran diminta oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.