TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritisi penerbitan Peraturan Mahkamah Agung tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam lingkungan Pengadilan. Perma ini, salah satunya melarang penggunaan ponsel seluler selama persidangan berjalan, bahkan melarang perekaman atau pun foto.
Feri mengatakan membuka akses kepada publik untuk mengetahui proses persidangan seharusnya adalah bagian dari transparansi peradilan dalam menjalankan kewenangan. Hal ini dapat sekaligus jadi bukti bahwa dalam proses peradilan tak ada apapun yang ditutupi.
"Semua dapat membuktikannya. Termasuk dengan membolehkan video," kata Feri saat dihubungi Tempo, Ahad, 20 Desember 2020.
Ia mengatakan jika sejak awal sidangnya berjalan terbuka dan dibuka untuk umum, maka otomatis aktivitas seperti merekam seharusnya diperbolehkan. Justru dengan melarang adanya perekaman, Feri menilai MA bisa dianggap publik berusaha menutupi sesuatu.
"Yang pasti sesuatu yang tertutup biasanya ada yang disembunyikan. Jangan sampai MA dianggap publik ingin menutup banyak hal yang mestinya terbuka," kata Feri.
MA sendiri mendasarkan Perma dibuat demi tertibnya proses persidangan. Selain itu, MA juga mengatakan hal ini dilakukan untuk menciptakan suasana sidang yang tertib dan lancar, juga agar aparat peradilan yang menyelenggarakan persidangan serta pihak-pihak yang berkepentingan seperti saksi-saksi, terdakwa dan pengunjung merasa aman aman.
Namun Feri justru melihat pelarangan rekaman dan foto merupakan harga yang terlalu tinggi untuk hanya membuat sidang berjalan tertib.
"Jika terdapat ketidaktertiban, jangan salahkan yang ambil video. Mungkin peradilan belum memberikan pedoman bagaimana proses pengambilan video di pengadilan. Jangan videonya yang dilarang, karena itu sama saja melarang persidangan dibuka dan terbuka untuk umum," kata Feri.