INFO NASIONAL -- Generasi muda harus berjuang secara kolektif untuk mengingatkan pemerintah agar lebih serius menata laut Indonesia. Tata kelola yang buruk dipastikan akan mengancam ekosistem bahari dan kehidupan nelayan semakin sulit.
“Anak muda harus bergerak sama-sama, teriak lebih keras lagi. Aksinya harus kolektif, tidak bisa sendiri-sendiri lagi meminta pemerintah bertindak,” kata CEO Yayasan Econusa, Bustar Maitar dalam diskusi virtual “Peningkatan Ekonomi Dari Praktik Perikanan Berkelanjutan” pada Kamis, 17 Desember 2020.
Dari pengalamannya berkeliling ke wilayah Indonesia Timur, Bustar kerap melihat kapal trawl dan cantrang sedang dipersiapkan untuk kembali melaut. Hal ini sebelumnya dilarang oleh Menteri Kelautan dan Perikanan di periode sebelumnya. “Kerja susah payah yang dibangun Susi buyar dan amburadul dalam satu tahun ini,” ujarnya.
Kehadiran kembali kapal-kapal besar tersebut dikhawatirkan membuat nelayan tradisional semakin sulit menangkap ikan. Pada medio Juni lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan berniat merevisi perizinan delapan alat tangkap baru termasuk cantrang. Delapan alat tangkap ikan itu disusun berdasarkan hasil kajian sebagai tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 Tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Menurut Bustar, negara harusnya mendukung nelayan, bukan sebaliknya mementingkan oligarki atau modal besar yang ingin menguasai laut. Apalagi pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja diduga akan berdampak pada lingkungan hidup.
UU Cipta Kerja memperbolehkan kapal asing menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan perjanjian dua negara. Karena ketentuan ini, UU tersebut mendapat sorotan serius dari pegiat lingkungan. Kerusakan di sekitar perairan laut sangat serius. Sekitar 33 persen dari total luas hutan mangrove (bakau) seluas 24.073 kilometer persegi, rusak parah. Padahal Indonesia sebagai negara dengan luas hutan mangrove terbesar di dunia .
“Kalau kita lihat ranking Indonesia dalam pelaksanaan SDGs dunia (tujuan pembangunan berkelanjutan), kita ada di peringkat 101 dari 166 negara. Dari 17 goals, belum ada yang nilainya berwarna hijau, artinya kita banyak pe-er serius,” kata Mas Ahmad Santosa, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Rusaknya kondisi hutan mangrove selaras dengan pandangan para nelayan yang menilai tahun ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah. “Pembuangan limbah, pertambangan, kerusakan hutan mangrove, semua ini mempengaruhi nelayan sehingga jadi kemiskinan terstruktur,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati.
Menurut Susan, ada tiga masalah serius yang dihadapi nelayan saat ini. Yakni krisis iklim berupa ombak tinggi yang menyulitkan melaut, kerusakan alam oleh manusia, dan masalah sosial ekonomi politik. “Jadi, kita bingung mau bicara soal pembangunan berkelanjutan. Kalau melihat di atas kertas sih bagus, tetapi pelaksanaannya tergantung dinamika politik,” katanya.
Untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan, pemerintah diminta belajar dari pengalaman masa lalu. Pada era 2000-an, Pemerintah AS mengeluarkan larangan terhadap ekspor udang dari Indonesia karena ditemukan bukti-bukti penangkapannya menggunakan kapal trawl yang tidak ramah terhadap penyu.
Kunci utama untuk meningkatkan ekonomi kelautan adalah pemerintah harus tegas dan terbebas dari praktik-praktik yang tak ramah lingkungan serta konsisten terhadap kebijakan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kasus ekspor benih lobster yang menyebabkan Menteri KKP Edhy Prabowo tersangkut kasus hukum patut menjadi pelajaran berharga. “Pe-er besar pemerintah saat ini adalah mengembalikan kepercayaan publik. Masalah kelautan ini perlu sumber daya yang konsisten terhadap kelautan,” kata Peneliti Ekonomi Kelautan Suhana.(*)