TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai ada anomali dengan kemenangan seluruh calon tunggal di Pilkada 2020. Dari 25 pasangan calon tunggal, data sementara mencatat mereka semua memenangi pemilihan.
Titi mengatakan hanya di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, kontestasi berlangsung agak kompetitif antara calon tunggal dengan kotak kosong. Merujuk data Sirekap, perolehan suara pasangan calon tunggal Dosmar Banjarnahor-Oloan P. Nababan 52,5 persen, sedangkan kotak kosong 47,5 persen.
"Calon tunggal menjadi anomali demokrasi di Indonesia," kata Titi dalam webinar "Evaluasi Pilkada dan Catatan Perbaikan", Kamis, 17 Desember 2020.
Titi menjelaskan, dalam praktik pemilu global, calon tunggal biasanya terjadi di daerah pemilihan yang kecil. Di daerah-daerah kecil tersebut partai politik biasanya tak terlalu bertaruh tentang eksistensinya.
Namun di Indonesia, kata Titi, calon tunggal muncul di tengah sistem multipartai dan di daerah-daerah dengan jumlah pemilih besar. Menguatnya calon tunggal, kata dia, merupakan insiden tragis di dalam sistem demokrasi Indonesia yang multipartai, memiliki jumlah pemilih besar, dan kompetisi antarpartai.
Baca Juga:
Di tengah sistem ini, Titi mengatakan mengusung calon sendiri merupakan hal yang sangat penting demi eksistensi partai. "Sulit dipahami di tengah kondisi dan lanskap demokrasi kita bisa muncul calon tunggal bak cendawan di musim penghujan," kata Titi.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman mengakui jumlah pasangan calon tunggal terus meningkat. Dia mengatakan, setiap tahun juga semakin sedikit pasangan calon yang mengikuti pilkada. Arief merinci, ada 25 daerah yang diikuti oleh 1 pasangan calon, 97 daerah diikuti 2 pasangan calon, 85 daerah diikuti 3 pasangan calon, 51 daerah diikuti 4 pasangan calon, 12 daerah diikuti 5 pasangan calon.
"Dulu ada daerah yang paslonnya sampai sembilan. Ini terus menurun, paling banyak di 2020 hanya lima paslon. Tetapi satu paslon secara faktual jumlahnya meningkat," kata Arief. Pada 2015, jumlah calon tunggal sebanyak 3 pasangan calon, menjadi 9 paslon pada 2017, kemudian 16 paslon pada 2018, dan berpotensi menjadi 25 paslon pada tahun ini.
Titi Anggraini pun mengusulkan agar ambang batas pencalonan kepala daerah dihapuskan demi memutus hegemoni calon tunggal. Ia mengatakan hal ini juga demi mengurangi membanjirnya calon dengan politik kekerabatan atau dinasti politik. "Jangan lagi ada ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah," ujar dia.