TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat Lapor Covid-19, Irma Hidayana, menilai pemerintah mengabaikan hak kesehatan dengan tetap berkukuh menggelar Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember ini. Irma merupakan salah satu penggugat Pilkada 2020 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Ia bersama sejumlah penggugat, salah satunya Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, menggugat keputusan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Komisi Pemilihan Umum yang tetap menggelar pilkada di saat kondisi pandemi Covid-19 masih parah. "Gugatan kami untuk menolak diadakannya pilkada Desember ini sebenarnya bertitik tolak dari pemenuhan hak kesehatan dan pemenuhan hak kesehatan itu bagian dari hak asasi manusia," kata Irma dalam konferensi pers, Kamis, 3 Desember 2020.
Irma berujar pemerintah masih memiliki kelemahan dalam melakukan penelusuran kontak dan pengetesan Covid-19. Merujuk standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), skala tes seharusnya 1 orang dari 1.000 populasi setiap pekan. Namun masih banyak wilayah yang belum memenuhi standar ini.
Irma juga menyinggung data Covid-19 yang masih jauh dari transparan. Dia berujar, pemerintah hanya mencatat jumlah kematian akibat Covid-19 yang terkonfirmasi, tetapi tidak menyertakan pasien-pasien yang meninggal dengan gejala klinis Covid-19 yang belum dites. Menurut Irma, ada selisih cukup besar antara data kematian terkonfirmasi Covid-19 dan pasien suspek serta probabel ini.
Data pemerintah mencatat kematian akibat Covid-19 di kisaran angka 17.000 (per hari ini 17.355). Sedangkan data tim LaporCovid-19 mencatat angka kematian terkonfirmasi beserta probabel dan suspek sebanyak 41.544 orang. "Gap-nya cukup besar," kata Irma.
Irma mengatakan 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 memiliki ancaman cukup berat dan potensi untuk terpapar. Apalagi, kata dia, sudah lebih dari 50 bakal calon kepala daerah yang positif Covid-19, bahkan ada pula yang meninggal. Selain bakal calon, banyak pula anggota Badan Pengawas Pemilu, tim sukses, dan warga yang terkonfirmasi positif.
"Potensi-potensi untuk lebih banyak orang lain terpapar ini masih cukup besar," ujar doktor kesehatan masyarakat lulusan Columbia Unversity, Amerika Serikat ini.
Dalam menjalankan kebijakan kesehatan masyarakat, kata Irma, pemerintah seharusnya memegang prinsip bahwa tak boleh ada satu orang pun yang dirugikan. Ia juga menilai prinsip distributive justice belum terpenuhi lantaran masih banyak orang meninggal tanpa akses terhadap tes Covid-19 dengan metode PCR.
Maka dari itu, Irma pun berharap majelis hakim PTUN dapat memperhatikan argumen-argumen ini dalam menyidangkan perkara gugatan. "Mohon para hakim menggunakan hati nuraninya untuk melihat potensi risiko karena ini yang dipertaruhkan adalah kesehatan dan keselamatan warga," ujar Irma.
BUDIARTI UTAMI PUTRI