TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo menunda penetapan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan pemerintah sebaiknya membuka audit dan evaluasi penanganan terorisme dengan melibatkan TNI yang sudah berlangsung, misalnya Satuan Tugas Tinombala.
"Seperti Tinombala, buka proses audit dan evaluasinya, mengingat operasi tersebut melibatkan institusi Polri dan TNI," kata Rivanlee kepada Tempo, Senin, 30 November 2020.
Rivanlee mengatakan proses evaluasi ini penting agar terlihat kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman alias SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dari kebijakan tersebut. Adapun Satgas Tinombala saat ini tengah disorot lantaran insiden di Lembantongoa, Sigi, Sulawesi Tengah.
Pemerintah menyebut insiden itu dilakukan oleh kelompok teroris jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora. Kelompok inilah yang menjadi sasaran operasi dari Satgas Tinombala di Sulawesi Tengah.
"Jika main lanjut pembahasan perpres ini, ruang penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI lewat fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan sama saja memberi cek kosong bagi militer dan berbahaya," kata Rivanlee.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie juga meminta pemerintah menunda sementara penetapan Rancangan Perpres TNI tangani Terorisme. Ikhsan mengatakan pemerintah perlu memperhatikan masifnya diskursus pembahasan rancangan perpres tersebut dan mengakomodasi masukan dari publik.
Ia juga mengingatkan rancangan perpres itu jangan sampai tumpang tindih dengan tugas pokok dan fungsi di antara kementerian/lembaga yang terlibat, terutama TNI. Ia menyoroti fungsi penangkalan pada Pasal 2 ayat (2) rancangan perpres yang mengatur ihwal fungsi penangkalan.
Menurut Ikhsan, istilah penangkalan ini tak dikenal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU Terorisme hanya menggunakan istilah pencegahan, seperti tertuang dalam Pasal 43A.
Ikhsan mengatakan fungsi pencegahan dan pemulihan sebaiknya dikerjakan oleh badan-badan lain yang memiliki kompetensi seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. "Termasuk melakukan kerja-kerja rehabilitas dan rekonstruksi oleh Kementerian Agama, BPIP, Kementerian Pendidikan, BNPT, dan lembaga-lembaga lainnya," ujar dia.
Poin lain yang juga disorot Ikhsan yakni kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang belum diakomodir dalam rancangan perpres. Ia berujar, Pasal 1 poin 1 UU Nomor 5 Tahun 2018 eksplisit menyebutkan terorisme merupakan domain tindak pidana sehingga penanganannya tunduk kepada sistem peradilan umum.
Pelibatan militer dalam penanganan terorisme, kata dia, seharusnya menjadi opsi terakhir jika eskalasi aksi terorisme sudah di luar kapasitas polisi untuk menanganinya. Ikhsan mengatakan keterangan tentang bentuk eskalasi ini juga harus tertuang dalam rancangan perpres.
Eskalasi terorisme yang bersifat fluktuatif pun membuat militer tak selalu dibutuhkan. Sebab, dalam eskalasi tertentu Polri masih sanggup menanganinya. "Artinya keterlibatan TNI dalam ranah pemberantasan terorisme seharusnya bersifat kasuistik dan dengan batas waktu tertentu, yaitu jika eskalasi terorisme berpotensi berada di luar kapasitas Polri," ujar Ikhsan.
Meski begitu, Ikhsan mengatakan usulan penundaan penetapan rancangan perpres ini bukan dalam konteks menolak keterlibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Melainkan pengaturan yang perlu dievaluasi dengan memperhatikan masukan publik. "Perlu digarisbawahi bahwa persoalan ini bukan dalam ranah ego sektoral, like or dislike, namun murni persoalan tata kelola pemerintahan yang baik," kata Ikhsan.