TEMPO.CO, Jakarta - Luphia Claudia Huae, pegawai Kejaksaan Agung, mengatakan terdakwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari 11 kali pergi ke luar negeri sepanjang 2019. Namun, hanya dua perjalanan yang mendapatkan izin dari Kejaksaan Agung.
"Jadi 11 kali perjalanan dinas selama 2019 itu pada 26 Maret, 22 Mei, 1 Juni, 26 Juni, 9 Agustus, 3 September, 4 Oktober, 10 November, 19 November, 25 November, dan 19 Desember, dan ada dua perjalanan yang mendapatkan izin. Sisanya tidak," ujar Luphia pada Senin, 30 November 2020 di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.
Luphia bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap kepengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) dengan terdakwa Pinangki Sirna Malasari.
Dua perjalanan yang memperoleh izin adalah 1 Juni dan 3 September 2020.
"Jadi yang di November, tidak ada izin ya?" tanya jaksa
"Iya, 10 November, 19 November, dan 25 November," jawab Luphia.
Luphia mengatakan, selama menjalani pemeriksaan di Jaksa Agung Muda Pengawasan, Pinangki menyatakan kepergiannya ke luar negeri untuk berobat dan bisnis.
Terkait bisnis, Luphia menyebut Pinangki tengah berbisnis dengan seseorang bernama Joecan, yang kemudian diketahui adalah Djoko Tjandra. "Apakah saudara saksi pernah bertanya ke terdakwa bagaimana cara terdakwa bertemu seseorang yakni Joecan?" tanya jaksa.
"Ditanyakan dan dikenalkan oleh Rahmat, untuk selanjutnya berproses pengajuan proposal penjualan power plan," kata Luphia. Namun, ia mengaku bahwa sampai akhir pemeriksaan, pihak Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan tak pernah diberitahu ihwal apa isi dan maksud power plan tersebut.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mencatat bahwa Pinangki melakukan sembilan kali perjalanan ke luar negeri untuk bertemu dengan Djoko Tjandra.
Dalam pertemuan itu, Pinangki dan Djoko membahas rencana untuk mendapatkan fatwa bebas MA melalui Kejaksaan Agung. Djoko setuju rencana itu, serta biaya-biaya yang dibutuhkan.
Pinangki berjanji akan membuat proposal dan mengajak kawannya yang pengacara. Ia juga menyanggupi mengajak seorang swasta untuk menjadi perantara uang. Djoko Tjandra menolak menyerahkan uang secara langsung kepada Pinangki yang berstatus jaksa. Belakangan, pihak swasta itu diketahui bernama Andi Iran Jaya, mantan politikus Partai Nasdem.
Pertemuan berikutnya terjadi pada 25 November 2019 di Kuala Lumpur. Dalam pertemuan yang juga diikuti Anita dan Andi Irfan itu, Pinangki menyodorkan proposal berjudul Action Plan pengurusan fatwa MA yang dibanderol US$ 100 juta. Ada sepuluh tahapan dalam rencana yang dibuat Pinangki itu, termasuk aktifitas surat menyurat antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Ketua MA, Hatta Ali.
Djoko Tjandra menolak harga yang ditawarkan Pinangki. Ia hanya menyetujui US$ 10 juta. Sebagai realisasi dari pertemuan itu, Djoko menghubungi adik iparnya untuk menyerahkan US$ 500 ribu kepada Pinangki, melalui Andi Irfan.
Uang itu akhirnya dilakukan pada 26 November 2019. Namun, menurut Jaksa Roni, hingga Desember tak ada satupun rencana Action Plan yang terealisasi. sehingga pada akhirnya Djoko membatalkan perjanjian pengurusan fatwa MA dengan Pinangki.