TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa MUI terkait vaksin Covid-19. Mereka khususnya menetapkan fatwa terkait penggunaan Human Diploid Cell untuk bahan produksi obat dan vaksin tersebut.
"Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh," ujar Juru Bicara Sidang Komisi Bidang Fatwa dalam Sidang Pleno MUI, Asrorun Ni'am Sholeh, dalam keterangan tertulis, Jumat, 27 November 2020.
Dalam sidang Fatwa MUI itu dijelaskan pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram. Alasannya, karena bagian tubuh manusia (juz ul-insan) wajib dimuliakan.
Namun karena kondisi kedaruratan pandemi Covid-19, hukumnya menjadi diperbolehkan. Meski begitu, MUI menetapkan delapan syarat agar vaksin tersebut bisa dipakai.
Pertama, tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia. Kedua, obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudharatan lebih besar.
Ketiga, tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin.
Keempat, apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar’i, seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis, atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization).
Kelima, pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor. Selanjutnya, dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya;
Syarat ketujuh, sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta’awun), tidak dengan cara komersial. Terakhir, kebolehan pemanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah).