TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menjelaskan konstruksi perkara suap dengan tersangka Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Menurut dia, perkara ini dimulai saat Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.
Edhy menunjuk dua staf khususnya, yakni Andreau Pribadi Misata dan Safri sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. "Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur," ujar Nawawi di kantornya, Rabu, 25 November 2020.
Pada Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP), Suharjito datang ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKO) di lantai 16 dan bertemu Safri. Dalam pertemuan itu, kata Nawawi, diketahui bahwa ekspor benih lobster hanya dapat dilakukan melalui forwarder atau ekspedisi muatan PT Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.
Menurut Nawawi, ketentuan itu merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin dengan Andreu dan Siswadi, seorang pengurus PT ACK. Atas kegiatan ekspor benih lobster itu, kata Nawawi, PT DPP diduga melakukan transfer uang ke rekening PT ACK sebesar Rp 731 juta.
"Selanjutnya PT DPP atas arahan EP (Edhy Prabowo) melalui Tim Uji Tuntas memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan PT ACK," ujar Nawawi.
Nawawi menjelaskan, pemegang PT ACK adalah Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja. Menurut Nawawi, uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster itu, lantas ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar, masing-masing Rp 9.8 miliar.
Pada 5 November 2020, Nawawi berujar ada dugaan terdapat transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, yakni staf istri Menteri KKP sebesar Rp 3,4 miliar. Uang itu untuk Edhy Prabowo dan istrinya Iis Rosyati Dewi, Safri dan Andreu Pribadi Misata.
"Antara lain dipergunakan untuk belanja barang
mewah oleh EP (Edhy Prabowo) dan IRW (Iis Rosyati Dewi) di Honolulu, Amerika Serikat tanggal 21 sampai 23 November 2020 sejumlah Rp 750 juta," kata Nawawi.
Nawawi mengatakan, barang merah tersebut antara lain jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton dan baju Old Navy. Selain itu pada sekitar Mei 2020, Edhy Prabowo diduga menerima uang sebesar US$ 100 ribu dari Suharjito melalui Safri dan Amiril Mukminin. Kemudian pada Agustus 2020, Nawawi melanjutkan, Safri dan Andreu Pribadi Misata diduga menerima uang sebesar Rp 436 juta dari Ainul Faqih.
"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh oenyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020," kata Nawawi.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan 7 orang sebagai tersangka. Sebagai penerima suap, tersangka terdiri dari Edhy Prabowo, Safri, Andreu Pribadi Misata, Ainul Faqih, Amirul Mukminin dan Siswadi. Sementara tersangka pemberi suap adalah Suharjito.
Atas kasus tersebut, Edhy menyampaikan permohonan maaf kepada sejumlah pihak atas kejadian ini termasuk kepada masyarakat Indonesia, khususnya yang berkecimpung di bidang perikanan. Dia mengklaim pernyataan-pernyataan yang ia sampaikan selama ini terkait bidang maritim bukan pencitraan belaka.
M YUSUF MANURUNG