TEMPO.CO, Semarang - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, atau Unnes Frans Josua Napitu, dikembalikan ke orangtua. Skorsing itu merupakan buntut laporan Frans atas dugaan kasus korupsi oleh Rektor Unnes Fathur Rokhman ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 13 November 2020. Surat keputusan pengembalian ke orangtua diteken oleh Dekan FH Unnes Rodiyah pada Senin, 16 November 2020.
Dalam surat keputusan itu Rodiyah menyebut Frans diduga terlibat sebagai simpatisan Organisasi Papua Merdeka atau OPM. Ia mengatakan pernah memanggil Frans pada 8 Juli 2020 untuk klarifikasi. "Berdasarkan jejak digital yang kami miliki," kata Rodiyah pada Selasa, 17 November 2020.
Dalam klarifikasi tersebut Frans kemudian diminta meneken surat pernyataan. Surat pernyataan itu antara lain berisi tidak bertindak provokatif, kegaduhan, menjaga nama dan reputasi institusi Unnes, tak terlibat aksi simpatik terhadap tahanan politik, serta menaati etika, dan tata tertib kemahasiswaan.
Rodiyah menyebut, Frans malah melanggar enam pernyataan yang telah ditandatangani tersebut. "Dia sendiri yang membangunkan," katanya.
Salah satu tindakan Frans yang melanggar surat pernyataan itu, kata Rodiyah, adalah melaporkan Rektor Unnes ke KPK. "Melaporkan Rektor Unnes kan membuat kegaduhan. Perbuatan dia berarti melanggar enam poin pernyataannya," kata Rodiyah.
Surat keputusan pengembalian Frans ke orangtua terbit tiga hari setelah pelaporan ke KPK. Menurut Rodiyah keputusan yang ia ambil berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan. "Orang menitipkan anak. Saya tidak kuat, saya kembalikan," ucap dia. Rodiyah mengatakan keputusan itu bukanlah sanksi melainkan melibatkan orangtua dalam pendidikan.
Meski dikembalikan ke orangtua, Frans tetap berstatus sebagai mahasiswa Unnes. Frans merupakan mahasiswa Bidik Misi kampus di Sekaran Gunungpati Kota Semarang itu. Kini sampai enam bulan ke depan studinya ditunda. "Statusnya masih mahasiswa, proses akademiknya yang ditunda," ucapnya.
Rodiyah juga mengaku siap jika mahasiswanya tersebut menempuh jalur hukum atas keputusan yang ia keluarkan. "Kalau menurut dia memenuhi unsur hukum, mau menggugat hak dia," sebut Rodiyah.
Frans mengaku kecewa atas surat keputusan yang dikeluarkan fakultasnya. Menurutnya, dugaan terlibat sebagai simpatisan OPM hanya dalih untuk membendung sikap kritisnya. "Terkesan dipaksakan atas laporan saya ke KPK," kata dia. Tuduhan terlibat sebagai simpatisan OPM, kata dia, sudah lama terjadi dan tak mampu dibuktikan.
Dia mengaku hanya ingin turut menyuarakan penolakan rasisme yang selama ini kerap ditujukan kepada orang asli Papua. "Ada ekspresi politik yang mereka ungkapkan itu adalah hak yang kita hargai bersama," tuturnya.
Mahasiswa asal Kabupaten Simalungun Sumatera Utara tersebut mengaku siap menghadapi almamaternya baik secara litigasi maupun non litigasi. "Karena tindakan saya dilindungi hukum dan dijamin konstitusi," ujarnya. Dalam mengawal kasusnya, Frans akan didampingi Lembaga Bantuan Hukum Semarang.