TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyayangkan keputusan Universitas Negeri Semarang (Unnes) menskors mahasiswanya yang melaporkan rektornya ke lembaga antirasuah. Menurut Ghufron, melaporkan dugaan korupsi adalah hak semua orang.
“Perlu diketahui bahwa adalah hak masyarakat untuk melaporkan jika mengetahui adanya tindak pidana,” kata Ghufron kepada wartawan, Senin, 16 November 2020.
Ghufron mengatakan melaporkan dugaan korupsi dilindungi oleh Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 41 Ayat 1 UU Tipikor disebutkan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dia mengatakan negara bahkan telah menyiapkan penghargaan atas siapapun yang melaporkan dugaan korupsi. Karena itu, Ghufron sangat menyayangkan ada pihak yang memberikan sanksi kepada masyarakat yang melaporkan tindak pidana korupsi. “Hal tersebut sangat disayangkan,” kata dia.
Sebelumnya, Fakultas Hukum Unnes mengembalikan mahasiswanya Frans Napitu setelah melaporkan dugaan korupsi Rektor Unnes Fathur Rokhman ke KPK. Dekan Fakultas Hukum Unnes Rodiyah mengatakan bersamaan dengan keputusan itu, perguruan tinggi itu juga menunda seluruh kewajiban Frans Napitu sebagai mahasiswa Unnes untuk enam bulan ke depan.
"Surat pemberitahuan sudah kami kirimkan kepada orangtua yang bersangkutan melalui PT Pos serta pemberitahuan melalui Whatsapp," kata Rodiyah di Semarang, Senin, 16 November 2020.
Menurut dia, pengembalian Frans Napitu ke orang tuanya ini belum merupakan sanksi atas tindakannya yang dinilai telah menurunkan reputasi Unnes. Ia menjelaskan surat keputusan ini dibuat setelah melalui pertimbangan tim yang dibentuk usai laporan Frans ke KPK pada pekan lalu
Rodiyah menuturkan, pembinaan terhadap mahasiswa semester 9 tersebut bukan yang pertama. Sebelumnya, kata dia, teguran juga diberikan kepada mahasiswa program bidik misi itu atas beberapa perbuatan, seperti menyampaikan tuduhan adanya plagiasi yang dilakukan rektor, memimpin aksi yang menuduh rektor melakukan penindasan, hingga unggahan di media sosial tentang dukungan terhadap kelompok separatis di Papua. Setelah enam bulan dikembalikan kepada orangtuanya, kata dia, Frans akan kembali dievaluasi untuk mengetahui adanya perubahan atau tidak.
Frans membantah dirinya adalah simpatisan OPM. Dia mengatakan itu adalah fitnah. Dia menceritakan tudingan itu muncul hanya karena dirinya pernah mengunggah di media sosial mengenai dukungannya terhadap aksi demo menolak kekerasan di Papua yang bertajuk papua lives matter. “Itu fitnah,” kata dia.