TEMPO.CO, Jakarta - Istilah King Maker akhirnya muncul di sidang kasus suap dari Djoko Tjandra dengan terdakwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Istilah yang sebelumnya diungkap Masyarakat Antikorupsi Indonesia itu mencuat ketika pengusaha bernama Rahmat dihadirkan menjadi saksi di sidang pada Senin, 9 November 2020.
Mulanya, jaksa dari Kejaksaan Agung mencecar Rahmat mengenai pertemuan yang terjadi antara Pinangki, Djoko Tjandra, Anita Kolopaking dan dirinya di Kuala Lumpur, pada 19 November 2019. Itu merupakan kali kedua mereka berkumpul untuk membahas cara memulangkan Djoko ke Indonesia, meski berstatus sebagai terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali.
Jaksa kemudian membacakan Berita Acara Pemeriksaan Rahmat. Dalam BAP, Rahmat mengatakan di pertemuan itu Pinangki dan Anita menyodorkan dokumen. Rahmat disuruh mendokumentasikan penandatanganan dokumen rencana membebaskan Djoko itu.
Masih dalam BAP yang sama, Jaksa Roni mengatakan bahwa setelah itu Pinangki menjelaskan mengenai langkah yang harus dilalui Djoko untuk bisa kembali ke Indonesia. Djoko harus ditahan sementara sembari mereka mengurus masalah hukum Djoko di Pengadilan. Rahmat dalam BAP-nya mengatakan bahwa Pinangki juga menjelaskan bahwa semua kegiatannya itu akan dilaporkan kepada King Maker. Menurut Rahmat, Pinangki tak menjelaskan siapa King Maker itu.
Sebelumnya, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan king maker disebut beberapa kali dalam percakapan antara Pinangki dengan tersangka lain dalam kasus ini. Misalnya, ketika king maker belum menyetujui upaya yang dilakukan Pinangki dkk untuk Djoko Tjandra. "Ada penyebutan karena king maker belum setuju, belum apa segala macem begitu," kata dia di KPK, pada 16 September 2020.
Selain itu, kata Boyamin, para tersangka di kasus Djoko Tjandra menyebut bahwa king maker marah, hingga menghambat upaya mereka membebaskan Djoko. "King maker itu marah dan kemudian melakukan upaya hambatan, menghambat atas upaya pihak lain misalnya. Belum setuju atas sesuatu, deal-nya kira-kira gitu," kata dia.