TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai bangkitnya Partai Masyumi berpotensi menimbulkan ketegangan ideologi politik dengan kelompok nasionalis yang alergi dengan Islamisme politik.
"Fragmentasi politik makin mengental, termasuk bakal bermunculan ayat-ayat politik nantinya," ujar Adi saat dihubungi Tempo pada Ahad, 8 November 2020.
Partai Masyumi yang merupakan salah satu partai Islam tertua di Indonesia dideklarasikan kembali aktif di Masjid Al- Furqon Jakarta Pusat, pada Sabtu, 7 November 2020. Masyumi pernah berjaya pada Pemilu 1955.
Partai ini mendulang suara besar dengan perolehan 7,9 juta suara atau 20,9 persen. Suara itu menempatkan Masyumi menjadi pemenang kedua di bawah PNI dengan 8,4 juta suara atau 22,3 persen. Masyumi mengalahkan Nahdlatul Ulama dan PKI pada masa itu.
Pada 1960, Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi. Rezim kala itu menuding partai ini melindungi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960 untuk membubarkan partai ini. Pada 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masyumi menyatakan Partai Masyumi bubar.
Setelah puluhan tahun, partai ini bangkit kembali digawangi sejumlah tokoh dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) seperti MS Kaban. Lalu ada Abdullah Hehamahua, Bachtiar Chamsyah, hingga Cholil Ridwan.
"Tokoh-tokoh Masyumi reborn ini terkenal kerap frontal ke pemerintah. Bakal seru dunia persilatan ke depan," ujar Adi.
DEWI NURITA