INFO NASIONAL-- Tantangan besar sektor pertanian di Indonesia adalah ketidak tertarikan anak-anak muda. “Dari studi Akatiga, hal ini disebabkan tiga masalah utama yakni akses tanah, lemahnya posisi orang muda dan citra pertanian yang masih buruk,” ujar peneliti Akatiga Fadhli Ilhami dalam webinar KSIxChange #29 bertajuk “Tantangan Regenerasi dan Upaya Revitalisasi pada Sektor Pertanian di Tengah Pandemi COVID-19, pada Selasa, 27 Oktober 2020.
Tantangan pertama yaitu akses tanah bagi petani muda menjadi persoalan antar generasi. Selama orang tua belum memberikan warisan tanah, anak-anak muda tidak memiliki hak penuh untuk mengelola tanah tersebut. “Bahkan mereka juga terkendala ketika hendak mengganti jenis tanaman yang sudah ditanam sebelumnya,” kata Fadhli.
Baca Juga:
Tantangan kedua, berdasarkan sensus agraria yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, terdapat 55 persen petani Indonesia yang merupakan petani gurem. Rata-rata luas lahan mereka kurang dari 0,5 hektar. Dengan tanah seluas itu, jika dibagi dengan empat saudara, tanah garapannya semakin kecil. Selain itu, banyak tanah pertanian yang dimiliki korporasi dan absentee. Berikutnya harga sewa tanah juga terus meningkat. Penelitian Akatiga pada 12 desa pertanian menemukan, harga sewa termurah sebesar Rp 1 juta per hektar.
Ada enam rekomendasi yang disarankan Akatiga agar sektor pertanian mampu menarik minat anak-anak muda. Pertama, mendorong penyediaan dan akses tanah. Kedua, mendorong pemerintah desa memberikan sistem insentif/disinsentif bagi petani muda. Ketiga, mendorong penggunaan teknologi tepat guna tanpa menghilangkan pekerjaan buruh tani.
Saran berikutnya, mendorong jenjang antara orang pedesaan dengan praktek positif yang mendorong regenerasi. Kelima, membentuk hub informasi yang mampu mendorong regenerasi. Terakhir, memastikan keberlanjutan dengan memastikan kestabilan harga dan kepastian pasar.
Baca Juga:
Dalam webinar yang sama, Portfolio Advisor Innovative Finance and Technology program PRISMA, Lynley Mannell mengungkapkan, teknologi banyak dipakai dalam pertanian oleh para anak muda dan petani perempuan. Meski begitu petani juga menghadapi banyak tantangan dari akses input, askes modal, dan akses komunikasi. PRISMA membangun program kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan fokus meningkatkan akses dan daya saing petani dan pelaku pasar.
“Melalui kemitraan ini, kami ingin mencapai peningkatan pendapatan yang berkelanjutan terhadap 1 juta petani kecil pada 2023,” katanya.
Program PRISMA membatasi kategori pemuda sebagai individu berusia 16 -30 tahun. Penelitian PRISMA menemukan diantara para petani yang terlibat kemitraan, sebanyak 29 persen merupakan anak muda. Dari jumlah petani tersebut, 32 persen adalah petani perempuan, sedangkan 24 persen merupakan petani pria muda.
Sedangkan Head of Partneship and Social Impact TaniHub Group, Deeng Sanyoto, mengatakan bencana besar sektor pertanian di Indonesia bukan terkait teknologi atau pun tanah. Tetapi minimnya anak muda yang bersedia menjadi petani. Agar pertanian menjadi menarik sehingga diminati anak muda, harus ada pembuktian bahwa pertanian merupakan sektor usaha menjanjikan.
Dari pengalaman Evi Shopia dari Kelompok Petani Muda Organik (Ketan Pedo) CibiruSukabumi, petani pemerintah belum sepenuhnya mendukung petani kecil. Pemerintah perlu memberikan apresiasi kepada petani perempuan dan anak muda yang terjun pada sektor pertanian karena tidak mudah menjadi petani milenial di era sekarang.
“Kebangkitan petani milenial sebenarnya cukup baik. Hanya saja belum ada dorongan untuk petani pemula baik bantuan berupa pelatihan, benih, maupun alat pertanian,” katanya.
Knowledge Sector Initiative (KSI) adalah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia bekerjasama dengan Bappenas. KSI bertujuan untuk mengatasi berbagai kendala mendasar yang menghambat sektor pengetahuan di Indonesia, baik dari sisi penyediaan maupun penggunaan bukti berkualitas dalam penyusunan kebijakan.(*)