Ketiga, mereka meminta MK agar dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian UU Cipta Kerja tak hanya mengandalkan bukti-bukti yang diajukan pemohon. MK diharapkan mengambil inisiatif dan secara aktif menggali sendiri kebenaran materiil dari UU Cipta Kerja yang kelak akan diuji.
Sebab, kata Iqbal, MK adalah peradilan konstitusional tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Tak ada lagi instrumen hukum yang bisa digunakan untuk mengubah putusan MK.
"Dalam konteks ini kaum buruh Indonesia mengharapkan Mahkamah Konstitusi dapat mengambil peran yang maksimal sebagai judex factie," kata Iqbal.
Keempat, Iqbal juga meminta MK sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi yang telah disuarakan oleh berjuta-juta kaum buruh Indonesia. Buruh, kata dia, dengan segala risiko di tengah pandemi Covid-19 telah turun ke jalan untuk menyuarakan kebulatan tekat menolak UU Cipta Kerja.
Iqbal mengatakan suara kaum buruh bersama masyarakat sudah sewajarnya diperhatikan dan dipertimbangkan oleh MK. Serta dipandang sebagai nilai-nilai moral dan politik yang hidup di tengah masyarakat.
"Nilai-nilai yang disebut sebagai 'konstitusi yang tidak tertulis' itu tempatnya di atas, atau setidaknya di samping konstitusi tertulis," ujar dia.
Kelima, KSPSI dan KSPI meminta Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian UU Cipta Kerja benar-benar dapat menunjukkan kekuasaannya sebagai penjaga marwah konstitusi, pelindung hak-hak konstitusional warga negara, dan pelindung hak asasi manusia.
Iqbal mengatakan, seperti telah disuarakan banyak pihak, UU Cipta Kerja sungguh-sungguh mengangkangi Undang-undang Dasar 1945, melanggar hak-hak konstitusional kaum buruh dan masyarakat, dan menista hak asasi manusia.
"Tanpa bermaksud mengintervensi proses persidangan, hal formalistik bisa dijadikan acuan, tetapi konstitusi tidak tertulis dalam hal ini aspirasi masyarakat dan hak-hak konstitusional yang akan merugikan buruh juga harus dipertimbangkan," kata Iqbal.
BUDIARTI UTAMI PUTRI