TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai masih banyak masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) fase kedua yang sudah berlangsung hampir satu semester.
"Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama hampir 8 bulan telah merenggut 3 nyawa peserta didik," kata Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo, dalam diskusi daring, Ahad, 1 November 2020.
Ia mengatakan kasus pertama adalah meninggalnya seorang siswa SD karena dianiaya orang tuanya akibat sulit memahami PJJ pada September 2020. Kasus kedua seorang siswi SMA di kabupaten Gowa yang bunuh diri karena tugas PJJ yang menumpuk pada Oktober 2020. Kasus yang sama terjadi pada seorang siswa MTs di kota Tarakan.
Meskipun motif bunuh diri seorang tidak pernah tunggal, Heru mengatakan pada kasus-kasus ini mengindikasi kuat bahwa beban PJJ menjadi salah satu penyebab peserta didik depresi sampai memutuskan bunuh diri. Meski begitu FSGI menyayangkan pihak-pihak yang semestinya melindungi peserta didik, justru kerap terburu-buru menyangkal.
Mereka cenderung menuding peserta didik bunuh diri bukan karena PJJ, tetapi selalu diarahkan kepada pribadi anak seperti masalah asmara, masalah perceraian orangtua, dan menuding anak berkarakter lemah.
"Penyangkalan ini yang pada akhirnya mengakibatkan pelaksanaan PJJ fase 2 secara signifikan tidak ada perubahan," kata Heru.
Dewan Pakar FSGI sekaligus Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, mengatakan dari hasil pemantauan pada PJJ Fase kedua, anak-anak dinilai lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis. Hal ini berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak/remaja.
Pasalnya pada fase 2 ini, Retno mengatakan anak mengalami naik kelas dengan situasi yang berubah. Mulai dari wali kelas yang berganti, guru mata pelajaran berbeda, dan kemungkinan besar kawan-kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya. Sementara peserta didik belum pembelajaran tatap muka sejak naik kelas.
"Pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat anak-sanak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya. Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya," kata Retno.